Pontianak (ANTARA) - Saat pendemi COVID-19 pada satu sisi pendapatan masyarakat ada yang terdampak namun di sisi lainnya juga masih tetap stabil seperti bagi pekebun kelapa di Kubu Raya, Kalimantan Barat karena saat ini untuk kelapa bulat harganya lumayan bagus mencapai Rp2.300 per butir.

“Alhamdulillah harga kelapa bulat atau yang matang tanpa dikupas harga sesuai harapan kami yakni capai Rp2.300 per kilogram,” ujar Pekebun Kelapa Sungai Itik, Akib saat dihubungi di Kubu Raya, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa kenaikan harga kelapa saat ini dimulai sejak dua bulan lalu dan saat ini di harga tertinggi. Semula harga kelapa bulat yang diambil agen di depan rumah Rp1.500 per butir dan kini tembus di Rp2.000 per butir.

“Kami juga pernah mengalami harga yang jatuh yakni hanya Rp7.000 per butir. Kembali, kami sangat bersyukur di tengah wabah harga kelapa bulat saat ini justru naik. Faktornya kita tidak tahu pasti, mungkin permintaan tinggi,” sebut dia.

Saat ini menurut dia ia memiliki 3 hektare luas lahan kelapa dalam. Untuk satu kali panen produksinya mencapai 8.000 butir.

“Panen kelapa itu sekitar 3 bulan sekali. Dengan harga sekarang selama tiga bulan pendapatan kotor sebesar Rp18.400.000,” katanya.

Senada juga disampaikan pekebun lainnya, Rahmat. Menurutnya harga kelapa saat ini sesuai harapan dan berharap ke depan harga stabil seperti saat ini.

“Harga sekarang sangat menjanjikan bagi pekebun kelapa. Kami bersyukur harga stabil dan ini boleh dikatakan sangat tinggi. Semoga terus begini,” harapa dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Heronimus Hero menyebutkan di Kalbar terdapat 100 ribuan hektare luas perkebunan kelapa dalam termasuk di Kubu Raya.

"Kelapa dalam sudah menjadi komoditas ekspor dan memberikan kontribusi yang cukup besar setelah CPO, karet dan lainnya. Orang yang terlibat di sektor perkebunan kelapa dalam terutama masyarakat cukup luas dan dampak dari budidaya tersebut kini mulai semakin membaik karena harga mulai tinggi faktor permintaannya dan keterbatasan produksi petani," kata dia.

Dari sisi pemerintah menurutnya di tengah tumbuhnya perusahaan untuk industri pengolahan produk turunan kelapa dalam dan petani kelapa itu sendiri perlu kebijaksanaan agar semua seimbang dan berjalan. Sehingga solusi dari pemerintah bisa mendorong kedua pihak tetap tumbuh dan merasakan manfaat luar dari komoditas yang semua bernilai jual tersebut.

Perusahaan pengelolaan untuk VCO dan lainnya contohnya, dari sisi bahan baku tentu butuh suplai bahan baku dan harga stabil. Kemudian harga maksimal Rp1.800 per butir dan di atas tersebut margin yang didapat perusahaan dari produk yang dihasilkan kecil dan bahkan tidak masuk hitungan bisnis.

Sebaliknya, saat ini di tengah banyaknya permintaan kelapa bulat atau tanpa proses hilirisasi untuk ekspor semakin tinggi. Harga yang beli ke petani juga semakin membaik dan bahkan untuk saat ini penampung mengambil di depan rumah petani seperti di Sungai Itik Rp2.300 per butir.

"Perusahaan butuh bahan baku murah dan petani tentu mau menjual mahal. Apalagi pasar jelas dan harga tinggi. Di sini dilema, harapan kita industri tumbuh dan petani tetap sejahtera. Dari potret tantangan di lapangan tersebut, pemerintah mendorong industri untuk membuat produknya lebih efisien dan memikirkan perluasan tanam kelapa dalam. Sehingga kebutuhan industri pengolahan bisa cukup dan permintaan untuk ekspor juga terpenuhi," kata dia.

Pewarta: Dedi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021