Jakarta (ANTARA) - Komisi II DPR RI bersama-sama dengan pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sepakat guna menunda pemberlakuan kebijakan sertifikat tanah elektronik agar dapat dievaluasi secara lebih mendalam.

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam rilis di Jakarta, Selasa menyatakan, Komisi II DPR RI dan Menteri ATR/BPN sepakat menunda pemberlakuan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang tentang Sertifikat Elektronik, dan segera melakukan evaluasi dan revisi terhadap ketentuan yang berpotensi menimbulkan permasalahan di masyarakat.

"Komisi II DPR RI mendesak kepada Kementerian ATR/BPN untuk melakukan evaluasi dan penyelesaiannya terhadap seluruh Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan yang tumpang tindih," ucap Doli.

Evaluasi tersebut, lanjutnya, terutama terkait dengan hak rakyat atas tanah yang tidak sesuai izin dan pemanfaatannya, yang tidak sesuai peruntukannya, serta yang terlantar dan tidak memberikan manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara.

Baca juga: Menteri ATR/BPN: Sertifikat elektronik masih uji coba

Selain itu, ujar dia, dalam rangka mendorong pencegahan, pemberantasan, dan penyelesaian praktik mafia pertanahan dan permasalahan penataan ruang di seluruh Indonesia, Komisi II DPR RI akan membentuk Panitia Kerja HGU, HGB, dan HPL, Panitia Kerja Mafia Pertanahan, dan Panitia Kerja Tata Ruang.

Sebagaimana diwartakan, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil mengatakan kebijakan sertifikasi tanah elektronik masih dalam tahap uji coba dan belum berlaku bagi masyarakat luas.

"Peraturan Menteri tentang Sertifikat Elektronik merupakan bagian dari uji coba. Peraturan diperlukan untuk diuji coba di Jakarta, Surabaya, dan beberapa kantor pertanahan lainnya," kata Sofyan dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Jakarta, Senin (22/3).

Sofyan mengatakan bahwa sasaran awal dalam uji coba tersebut adalah bangunan milik negara dan aset-aset perusahaan besar yang sertifikatnya dialihkan dari dokumen fisik menjadi dokumen elektronik.

Baca juga: KemenATR/BPN: Sertifikat tanah elektronik saat ini belum berlaku

Dalam tahap uji coba, Kementerian ATR/BPN juga terus mengevaluasi keamanan dokumen sertifikat elektronik dengan menggunakan standar internasional.

Sofyan mengatakan bahwa aspek keamanan dan keselamatan dokumen elektronik menjadi pertimbangan utama dari kebijakan sertifikat elektronik tersebut. Masyarakat perlu dibangun kepercayaannya terhadap keamanan dokumen elektronik.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI Agung Widyantoro menginginkan ada kejelasan tentang beberapa hal sebelum mulai diterapkan kebijakan sertifikat tanah elektronik oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Agung memaparkan sejumlah hal itu antara lain mengenai keberadaan sertifikat tanah yang tidak bisa dipungkiri sangat erat kaitannya dengan kesejarahan dan asal muasal tanah, apakah dari tanah adat, perseorangan, maupun turun temurun dari leluhur.

Agung mempertanyakan bagaimana potensi kemungkinan terkikisnya aspek kesejarahan tanah seperti ini dan data-datanya menjadi hilang.

Selanjutnya, perlu ada penegasan dan kejelasan informasi kepada masyarakat yang sudah khawatir dengan isu-isu yang beredar terkait sertifikat lama akan ditarik.

Ia memahami keinginan pemerintah untuk menerapkan sertifikat tanah elektronik, namun persoalannya, bagaimana konsep penggunaan digitalisasi ini agar mempermudah dari sisi pendataan, dan implementasi.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021