Palembang (ANTARA) - Sejak puluhan tahun lalu Sumatera Selatan bertumpu pada ekspor komoditas batubara, minyak sawit dan karet. Produksinya yang berlimpah dan tingginya permintaan dunia membuat daerah ini tak perlu bersusah payah dalam perniagaaan antarnegara.

Namun, data terbaru Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan terbilang mengejutkan, karena muncul sektor baru yakni pertanian yang kinerja ekspornya berkembang pesat dalam satu tahun terakhir.

Ekspor pertanian Sumsel melejit hingga 74,80 persen pada Februari 2021 jika dibandingkan bulan sebelumnya atau membukukan 4,45 juta dolar Amerika Serikat (USD).

Meski kontribusinya pada nilai ekspor Sumsel belum sampai satu persen yakni 0,92 persen, tapi bila dikembangkan akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah.

Secara tahunan (year to year) pun, ekspor pertanian juga terbilang luar biasa, karena pertumbuhan mencapai 900,52 persen. Kenaikan ini karena ditopang oleh ekspor kelapa, hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan lada hitam.

“Pertanian memberikan warna sendiri di Sumsel selama COVID-19. Ini salah satunya karena didukung oleh ekspor kelapa ke Tiongkok,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan Endang Tri Wahyuningsih.

Volume ekspor buah kelapa produksi petani Sumatera Selatan ke China melonjak 69,38 persen pada Februari 2021 jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau tercatat 11,06 ribu ton. Kenaikan volume ekspor ini membuat nilai ekspor produk pertanian tersebut meningkat menjadi 2,9 juta dolar AS (USD).

Tak hanya buahnya, ternyata bungkil kelapa asal Sumsel juga banyak peminatnya karena ada kenaikan volume permintaan hingga 123,07 persen.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian mengatakan sejak lama pemprov menaruh perhatian pada perkebunan kelapa ini sehingga dilakukan stimulus seperti pembangunan pabrik pengolahan di Kabupaten Banyuasin.

Pabrik tersebut juga mengolah sabut kelapa menjadi serat (coco fiber) dan serbuk (coco peat) yang bernilai tambah untuk pasar ekspor dengan negara tujuan China, Jepang dan sebagian negara di Eropa. Harga pokok produksi coco fiber senilai Rp1.900 dan coco peat senilai Rp1.100/Kg di tingkat petani. Sementara untuk harga ekspor masing-masing senilai Rp3.000 dan Rp2.000/Kg.

“Kami harap pada 2021 ini sudah benar-benar ekspor,” kata dia.

Sumsel memiliki kebun kelapa seluas 65.242 hektare dengan produksi mencapai 57.570 ton kopra atau setara 230,28 juta butir kelapa per tahun.

Sektor perkebunan kelapa ini diharapkan sudah memanfaatkan sabut dan memproduksi cocofiber dan coco peat pada tahun 2021. Dengan potensi ekspor sabut 50 persen saja, maka dapat meraup devisi senilai Rp71,96 miliar.

Selain itu, Pemprov Sumsel juga mendorong pelaku perhutanan untuk menghasilkan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti madu, rotan, minyak kayu putih, kopi.

Sumsel yang memiliki areal hutan terluas di Indonesia dengan luas 3,46 juta Hektare atau sekitar 37 persen dari total areal provinsi tersebut masih minim dalam eksplorasi potensi hutan.

“Masih terbatas di produk kayu, pada berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan LHK justru banyak sekali,” kata Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto.
 
Pekerja membawa hasil menyadap getah karet di kawasan perkebunan karet di Kabupaten Banyuasin, Sumsel. ANTARA FOTO/Feny Selly



Pengembangan produk HHBK sudah dilakukan melalui 14 Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Sumsel.

Pemerintah terus mendorong pengembangan HHBK ini karena dapat menyumbang pendapatan bagi negara, seperti produk madu hutan yagn dapat memberikan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 6 persen dari setiap kilogram penjualannya.

Pemprov juga sedang membuat aturan berupa Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pengelolaan hasil hutan. Dalam aturan tersebut pemerintah akan mendapatkan bagian dari hasil hutan yang digarap oleh masyarakat.

"Seperti di Lakitan Bukit Sokong itu ada potensi tanaman durian Bawor lebih kurang 5 Hektare. Nanti dari hasil penjualan tersebut, 20 persennya akan masuk ke kas daerah. Sebab, penanaman pohon durian itu menggunakan dana APBD," kata dia.

Dana tersebut nantinya dikelola kembali untuk melestarikan tanaman hutan. Hasilnya juga nanti bisa dinikmati masyarakat sesuai Perda No 6 Tahun 2020 tentang Bangunan Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

Komisaris Daerah Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Sumsel Iwan Setiawan mengatakan, selama ini masih ada beberapa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang belum termanfaatkan dengan maksimal, seperti madu, rotan, minyak kayu putih, kopi dan berbagai produk HHBK lainnya.

Pemerintah melalui UU Cipta Kerja pun telah mendorong pemilik Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang ada di seluruh Indonesia agar tidak hanya mengusahakan kayu saja dalam pengelolaan hutan, tetapi bisa ikut memanfaatkan HHBK yang belum tergali maksimal.

"Kami dari kalangan pengusaha sedang menggali potensi ini. Ada beberapa produk yang sudah dihasilkan, seperti madu dan lainnya. Saat ini kita juga sedang mengembangkan produk lainnya yang sedang dalam skala uji coba," ujar Iwan.

Hilirisasi

Hingga kini Sumsel Perekonomian Provinsi Sumatera Selatan masih bertumpu pada ekspor sektor industri yang memperdagangkan tiga komoditas yakni karet remah (crumb rubber), bubur kertas (pulp) dan minyak sawit. Kontribusi mencapai 74,81 persen dari total ekspor pada Februari 2021.

Walau pada bulan tersebut pertumbuhan negatif 6,05 persen dibandingkan bulan sebelumnya (mouth to mouth) tapi secara nilai ekspor masih tinggi dengan membukukan 275,85 juta dolar AS (USD).

Capaian ekspor industri ini menjadi yang terbesar dibandingkan tiga sektor lainnya di bulan Februari 2021 yakni pertanian (kelapa, hasil hutan bukan kayu/HHBK, lada hitam) hanya 4,45 juta USD, pertambangan (batubara) 74,45 juta USD, dan migas 12,54 juta USD. Namun, secara year to year (yoy), justru ekspor industri ini mengalami pertumbuhan positif 32,74 persen.

Sehingga performa baik dari ekspor industri ini mampu menyokong nilai ekspor Sumsel pada Februari 2021 mencapai 367,29 juta USD.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Bernadette Robiani mengatakan walau ekspor komoditas selalu menjadi penyumbang pemasukan terbesar bagi Sumsel tapi nilai ini jauh lebih kecil jika yang diekspor berupa barang setengah jadi atau barang jadi.

Untuk itu, Sumatera Selatan harus mempercepat hilirisasi komoditas demi meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Bernadette mengatakan, sebenarnya momen penurunan harga karet yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi kesempatan untuk mengejar hilirisasi.

Saat ini perekonomian Sumatera Selatan masih bergantung pada sektor primer, dimana masih mengekspor kelapa sawit, karet dan batu bara yang belum memiliki nilai tambah.

“Oleh karena itu, harusnya dengan melihat kondisi permintaan pasar yang melemah dan ketidakstabilan harga komoditas menjadi pelecut semangat untuk mempercepat hilirisasi,” katanya.

Tapi, sangat disayangkan karena hingga kini hilirisasi juga tak kunjung terwujud.

Padahal, saat ini Sumsel sedang berupaya mewujudkan pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat yang menjadi gerbang ekspor langsung ke negara-negara pengimpor komoditas.

“Adanya pelabuhan ini akan berdampak perekonomian Sumatera Selatan, ada baiknya bersiap dari sekarang dengan sudah menerapkan hilirisasi, agar dapat nilai tambah,” katanya.

Sumatera Selatan sejak lama disebut sebagai daerah lumbung pangan dan lumbung energi karena dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah. Namun, perlu ada upaya hilirisasi agar meraih nilai tambah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jika proses hilirisasi karet, sawit dan batubara dirasakan sulit terwujud (teknologi tinggi), maka tak ada salahnya jika memulai dari yang mudah, seperti membuat produk turunan buah kelapa.
 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021