Kita sekarang masih impor BBM dan elpiji. Pada 2030, pemerintah menargetkan tidak ada impor BBM dan diupayakan juga untuk tidak lagi melakukan impor elpiji.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia terus berusaha meningkatkan porsi energi terbarukan di dalam negeri melalui beragam strategi, di antaranya keputusan menghentikan impor energi fosil berupa bahan bakar minyak dan elpiji mulai 2030 serta mengebut proyek listrik matahari.
 
"Kita sekarang masih impor BBM dan elpiji. Pada 2030, pemerintah menargetkan tidak ada impor BBM dan diupayakan juga untuk tidak lagi melakukan impor elpiji," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
 
Pada 2021, proyeksi impor minyak mentah mencapai 118,4 juta barel dengan nilai total sebesar 2.297 miliar dolar AS. Proyeksi impor elpiji sebanyak 7,2 juta metrik ton dengan perkiraan harga berada di level 411 dolar AS per metrik ton.
 
Tingginya angka impor ini berdampak pada semakin besarnya defisit transaksi berjalan atau currrent account deficit.

Baca juga: Kementerian ESDM: Pemerintah jadikan listrik surya penopang bauran EBT
 
Keputusan menghentikan impor energi fosil merupakan bentuk ketegasan Indonesia dalam mengimplementasikan perjanjian internasional Paris Agreement terkait komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pemanfaatan energi terbarukan.
 
"Indonesia perlu mengantisipasinya untuk bisa mendorong pemanfaatan energi terbarukan sebagai bauran energi nasional," kata Arifin.
 
 Indonesia memiliki komitmen pencapaian bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Saat ini porsi pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru mencapai 11,2 persen.
 
Merujuk data Kementerian ESDM, kapasitas pembangkit energi terbarukan di Indonesia masih berjumlah 10.467 MW yang terdiri atas 3,6 MW tenaga hybrid, 154,3 MW tenaga angin, 153,8 MW tenaga surya, 1.903,5 MW tenaga bio, 2.130,7 MW tenaga panas bumi, dan 6.121 MW tenaga air.

Baca juga: Pemerintah targetkan tidak ada impor BBM pada 2030
 
Pemerintah menargetkan kapasitas terpasang listrik ramah lingkungan mencapai 24.000 MW pada 2025.  Selanjutnya, jumlah itu bertambah menjadi 38.000 MW pada 2035.
 
Arifin menjelaskan bahwa Indonesia menempatkan matahari sebagai tulang punggung penghasil energi terbarukan.
 
"Kami mengupayakan backbone energi nasional bersumber dari surya yang dari perkembangannya makin ekonomis," kata Arifin.
 
Pemerintah menyiapkan berbagai strategi dalam pengembangan energi surya mulai dari pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar di lahan bekas tambang, lahan tidak produktif, pemanfaatan waduk untuk PLTS terapung, pengembangan PLTS atap rumah, hingga inisiasi konversi PLTU ke PLTS.

Baca juga: Kementerian ESDM: PLTS atap kunci keberhasilan bauran energi nasional
 
Selain itu, pemerintah juga menginisiasi Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur sebagai lumbung energi surya karena daerah ini memiliki rata-rata potensi pembangkitan sebesar 1.800 MW per tahun atau 25 persen di atas rata-rata nasional.

intensitas radiasi matahari rata-rata di Pulau Sumba tercatat sebesar 4,8 kWh per hari dengan ketersediaan luas lahan yang dapat memungkinkan pembangunan PLTS hingga 50.000 MW.
 
PLTS skala besar itu akan ditransmisikan dari Pulau Sumba ke Pulau Jawa yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan pembangkit energi baru dan terbarukan yang dalam empat tahun terakhir hanya bertambah 500 MW.
 
Sepanjang tahun lalu angka kapasitas terpasang PLTS di Indonesia hanya sebesar 153,8 MW atau 0,07 persen dari total realisasi bauran energi baru dan terbarukan yang mencapai 10.500 MW atau 11,2 persen dari keseluruhan bauran energi nasional.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021