ketika mengatur antara gas dan rem itulah selalu saja ada potongan suasana yang dikomentari oleh penumpang, padahal sopir lebih tahu bahwa pengaturan gas-rem itu tidak sederhana, namun harus mempertimbangkan risiko keadaan atau berbasis data, agar ti
Denpasar (ANTARA) - Dua kali Ramadhan dan Idul Fitri, masyarakat Indonesia mengalami keterbatasan dalam beraktivitas akibat terpaan virus Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sejak Maret 2020 atau setahunan lebih.

Penulis memiliki dua kali pengalaman berpuasa dan berlebaran di rantau saat pandemi COVID-19, yakni Bali. Ibarat, belajar menjadi minoritas (Muslim) di Pulau Dewata.

Pembatasan aktivitas itu pula yang menjadikan masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah saja secara daring. Namun, Lebaran tahun ini lebih longgar dibandingkan dengan tahun lalu. Lebaran tahun lalu ditandai dengan larangan mudik dengan pengetatan wilayah antarkabupaten/kota, sedangkan larangan mudik Lebaran tahun ini ditandai dengan pengetatan wilayah antarprovinsi.

Ya, Ramadhan dan Idul Fitri 2020 benar-benar "berbeda" suasana dibandingkan dengan biasanya, karena puasa berlangsung tanpa Shalat Tarawih, Tadarrus Al Quran, Qiyamul Lail, hingga Takbiran, termasuk Shalat Idul Fitri pun di rumah, bahkan Shalat Jumat di masjid pun tidak ada. Itulah puasa pertama tanpa nuansa ritual sama sekali pada 2020. Penulis pun Shalat Idul Fitri sendirian di rumah. Itulah elegi di tengah Pandemi COVID-19.

Alhamdulillah, Ramadhan 2021 memiliki suasana yang lebih longgar dan nuansa ritual benar-benar ada, karena mulai Shalat Tarawih, Tadarrus Al Quran, Qiyamul Lail, Takbiran, dan Shalat Idul Fitri, meski nuansa ritual itu masih dalam keterbatasan tetapi ritualitasnya tetap terasa seperti Ramadhan dan Idul Fitri yang biasanya.

Pembatasan aktivitas kali ini pun terkait dengan protokol kesehatan, seperti masker, pengukuran suhu, dan penyanitasi tangan, bahkan waktu Tadarrus Al Quran juga dipersingkat hanya sampai pukul 21.00 Wita, atau Shalat Tarawih juga dipersingkat tanpa ceramah Ramadhan, namun ritualitasnya tetap ada. Yang amat terasa adalah suasana Shalat Idul Fitri yang membeludak, meski dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Hal itu dapat dimaklumi, karena faktanya memang pasien baru COVID-19 di Pulau Bali masih di atas 100 orang/hari, meski fakta itu sudah jauh lebih baik daripada tahun 2020 yang kuantitas masih berada di kisaran 300-an pasien baru/hari. Fakta itu pula yang membatasi umat Islam di rantau (Bali) untuk mudik ke kampung halaman (Jawa atau Nusa Tenggara).

"Untuk pelaksanaan shalat di dalam masjid dibatasi hanya 50 persen dari kapasitas normal dan kami sudah menyiapkan ratusan panitia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan selama pelaksanaan ibadah," kata Ketua Yayasan Masjid Raya Baiturrahmah, H. Junaidi, di Denpasar (13/5).

Pengaturan dan pengawasan Shalat Idul Fitri 1442 Hijriah di Masjid Raya Baiturrahmah Dusun Wanasari, Denpasar, dilakukan pengurus masjid dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes) COVID-19, seperti pengecekan suhu tubuh, memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun yang disediakan pengurus masjid setempat.

Masjid Raya Baiturrahmah saat pandemi COVID-19 hanya menampung 800-1.000 orang, meski masjid berlantai tiga itu biasanya menampung jamaah hingga 2-3 kali lipatnya. Sebelum memasuki masjid, panitia melaksanakan pengecekan suhu tubuh bagi jamaah sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan.

Tempat ibadah tersebut dibagi menjadi empat titik untuk mencegah kerumunan antarumat. Hal itu masih lebih baik, karena tahun 2020 tidak ada Shalat Id di masjid raya itu, sehingga Shalat Id 2021 bisa mengobati kerinduan masyarakat untuk shalat di luar rumah saat Idul Fitri dengan penerapan protokol kesehatan.

Baca juga: Memulai laksanakan makna hakiki Ramadhan

Pembatasan Shalat Idul Fitri juga dilaksanakan di perkampungan (banjar), seperti di Mushalla Al-Hidayah Jalan Gatot Subroto VI-F, Kota Denpasar, yang juga menerapkan prokes dengan memeriksa suhu jamaah oleh para remaja mushalla itu, kemudian shalat di dalam mushalla juga menjaga jarak, sehingga jamaah laki-laki diprioritas di dalam mushalla, sedangkan jamaah perempuan di halaman mushalla yang dijaga pecalang.

"Shalat di tengah pandemi memang harus memperhitungkan diri sendiri dan orang lain, karena Nabi mengajarkan Muslim itu tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Tidak boleh mencari bahaya dan juga membahayakan orang lain, karena itulah pengaturan Shalat Id itu penting," kata pengurus Mushalla Al-Hidayah Gatsu, H. Nawawi.

Bagi umat Islam, katanya, musibah COVID-19 merupakan ujian keimanan dan kesabaran, karena Nabi Ayub juga pernah mengalaminya dengan solusi yakni sabar, melakukan ikhtiar untuk sembuh seperti protokol kesehatan dan melakukan introspeksi atas segala dosa dengan memohon ampun kepada Allah.

"Hanya Allah yang mampu mengendalikan musibah," katanya.

Identik 
Biasanya, Lebaran Idul Fitri identik dengan silaturahim antarsaudara dan antartetangga, karena itu mudik dan silaturahim untuk berlebaran dengan saudara/tetangga menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Namun, tahun ini dilarang pemerintah untuk mudik, guna meminimalkan kerumunan yang memantik sebaran COVID-19.

Soal larangan mudik, medsos (media sosial) menarasikan larangan mudik sebagai kelaliman, sehingga narasi kontra-ukhuwah mendominasi jagat maya, padahal ibarat mengemudikan mobil memang tidak mudah dalam memilih: kapan tancap gas (ekonomi) dan kapan injak rem (kesehatan). Kalau tancap gas saja, tentu akan rawan kecelakaan, tapi kalau injak rem saja, juga tentu tidak akan jalan.

Nah, ketika mengatur antara gas dan rem itulah selalu saja ada potongan suasana yang dikomentari oleh penumpang, padahal sopir lebih tahu bahwa pengaturan gas-rem itu tidak sederhana, namun harus mempertimbangkan risiko keadaan atau berbasis data, agar tidak terjadi kecelakaan atau malah tidak jalan sama sekali.

Ya, potongan-potongan narasi yang semarak di grup-grup WhatsApp (WA) selalu membenturkan larangan mudik dengan kelaliman, seperti orang tua itu belum tentu hidup selamanya, kok mudik dilarang? Pintu surga itu dibuka saat Ramadhan, kok pintu perbatasan kota disekat? Begitulah potongan-potongan narasi yang seolah-olah kritik tapi tanpa berdasar data.

Faktanya, pasien baru COVID-19 di Pulau Bali saja masih di atas 100 orang/hari. Idem juga di Surabaya ada peningkatan.

"Pada bulan April, jumlah pasien COVID-19 rata-rata di bawah 20 orang. Namun, Jumat (7/5), jumlah pasien COVID-19 mencapai 43 orang. Pada 1 Mei 29 orang, 5 Mei 39 orang, dan 7 Mei ini sudah 43 orang," kata Kepala Asrama Haji Surabaya Sugianto (Radio 'Suara Surabaya', 7/5/2021).

Pertimbangan berbasis data itu pula yang menjadikan penulis memiliki pengalaman dua kali berlebaran, karena tidak mudik, namun lebaran tahun ini lebih longgar dibandingkan dengan tahun lalu. Larangan mudik tahun lalu ditandai dengan pengetatan wilayah antarkabupaten/kota, sedangkan larangan mudik Lebaran tahun ini ditandai dengan pengetatan wilayah antarprovinsi, sehingga warga Jatim, Nusa Tenggara dengan Bali pun tidak mungkin bersilaturahim.

Baca juga: Saat masih pandemi, Lebaran virtual pilihan jitu bersilaturrahmi

Tahun 2021, larangan mudik ditetapkan pada 6-17 Mei 2021. Penulis bisa bertemu keluarga dari Jatim yang datang ke Bali menjelang tanggal itu, sedangkan tahun lalu pertemuan itu tidak memungkinkan sama sekali, karena wilayah Jatim, Nusa Tenggara, dan Bali sama-sama "tutup".

Penulis juga masih mungkin bersilaturahim dengan saudara dan teman dalam satu wilayah di Pulau Dewata, seperti dengan saudara dari Denpasar atau dengan teman dari Bedugul-Tabanan dan Karangasem. Selebihnya dengan tetangga yang juga saling berkunjung seperti Lebaran pada umumnya.

Tidak hanya itu, silaturahim secara virtual melalui fasilitas "video call" dari WA dengan saudara juga bisa dilakukan secara lintas wilayah, seperti Surabaya-Bondowoso-Lamongan-Jember-Denpasar/Bali-Krian/Sidoarjo, atau Lamongan-Mojokerto-Surabaya-Denpasar/Bali. Hanya saja memang tidak bisa belasan atau puluhan orang dan masih bergantung koneksi/sinyal.

Selain tradisi silaturahim, tradisi kuliner khas daerah juga sering menyemarakkan Idul Fitri, seperti sempat disinggung Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui pidato dalam video YouTube Kementerian Perdagangan RI, 5 Mei 2021. Konteks pidato adalah ajakan kepada masyarakat berbelanja kuliner secara daring di Gerakan Nasional (Gernas) Bangga Buatan Indonesia (BBI).

"Sebentar lagi Lebaran. Namun karena masih dalam suasana pandemi, pemerintah melarang mudik untuk keselamatan kita bersama. Nah, Bapak/Ibu/Saudara yang rindu kuliner daerah atau mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara 'online'. Yang rindu makan gudeg Yogya, bandeng Semarang, siomay Bandung, pempek Palembang, bipang Ambawang dari Kalimantan dan lain-lain tinggal pesan dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah," kata Jokowi.

Nah, kalau dibaca secara konteks (berita lengkap), maksud dari pernyataan Kepala Negara adalah produk lokal harus diutamakan untuk pemulihan ekonomi masyarakat kecil dari sektor UMKM, karena Presiden menyebut gudeg, somay, empek-empek, dan kuliner khas daerah lainnya, namun ada contoh kuliner yang mungkin dianggap keliru yakni Bipang Ambawang, maka contoh keliru itu pun "ditembak" secara politik, padahal targetnya adalah ekonomi/UMKM.

Begitulah medsos dalam mengambil potongan-potongan narasi yang viral dengan "tembakan" politis, baik soal kebijakan larangan mudik hingga kuliner tradisional. Terlepas dari narasi politis, penulis dan keluarga pun bisa menikmati kuliner tradisional khas Lebaran itu, seperti rengginang (kue kering) dan lontong/ketupat khas Jawa, serta sate lilit khas Bali.

Alhamdulillah, pengalaman bernilai, meski menjadi elegi di tengah pandemi COVID-19.

Baca juga: Lindungi diri dari pandemi lewat silaturahmi virtual
Baca juga: Epidemiolog ingatkan warga untuk silaturahim lebaran secara virtual
Baca juga: Kominfo antisipasi lonjakan "bandwidth" untuk tunjang Lebaran virtual


 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021