Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) mengatakan isu childfree yang belakangan ini ramai diperbincangkan di media sosial, dapat mendorong pentingnya kesedaran edukasi kesehatan reproduksi.

Childfree adalah sebuah gaya hidup yang dipilih oleh pasangan menikah untuk tidak memiliki anak. 

Baca juga: Pendidikan seks kunci penegakan hak otonomi tubuh

"BKKBN punya Direktorat Kesehatan Reproduksi, ini ada sub-nya yaitu Infertilitas, yang diharapkan kegiatan-kegiatan kami di BKKBN bisa membantu mereka yang jadi yang tidak fertil atau yang tidak punya anak atau tidak hamil. Kita ada kegiatan untuk menjangkau mereka yang tidak hamil, tidak punya anak, dan mereka yang ingin punya anak namun sulit. Kita memberikan konseling dan pencerahan," kata dr. Hasto kepada ANTARA, ditulis pada Senin.

Ia mengatakan, BKKBN melihat isu viral di media sosial tentang ini adalah hal yang dapat mendorong publik untuk lebih mengenal hak-hak reproduksi, baik pria dan wanita, dan juga untuk mengenal tanggung jawab suatu pasangan dalam satu keluarga.

"Kata tanggung jawab ini yang mungkin bagi sebagian orang agak menakutkan. Oleh karena itu, setiap pasangan calon pengantin sebaiknya melakukan perencanaan pernikahan agak memiliki visi dan misi pernikahan yang sama," kata dia.

Ada pun perencanaan menikah bisa melalui kursus pranikah, calon pasangan dapat mengetahui konsep ideal pernikahan, mulai dari usia ideal, kesiapan finansial, fisik, mental dan emosi, sosial, moral, hubungan antarpribadi (interpersonal), keterampilan hidup (life skill), sampai dengan kesiapan intelektual.

Hal-hal ini dapat menjadi modal dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak atau tidak serta menjalani kehidupan berkeluarga. Namun, keputusan untuk memiliki anak atau tidak merupakan hak dan pilihan dari masing-masing pasangan.

Baca juga: New York melarang pernikahan lewat Zoom

Dampak childfree terhadap pembentukan keluarga
dr. Hasto mengatakan, pasangan yang memutuskan untuk childfree mungkin akan cenderung lebih rentan dengan perceraian. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kehadiran anak, mungkin dapat membuat konflik antara suami dan istri lebih besar walaupun persoalannya mungkin sepele.

"Kekuatan keluarga adalah anak, tanpa memiliki anak, kalau ada konflik yang berat, konflik itu akan semakin berat," kata dr. Hasto.

"Kalau childfree, konflik-konflik bisa lebih cenderung terjadi. Anak itu memperkuat ikatan. Anak terkadang menjadi pengingat untuk orang tua. Bukan cuma soal cinta-kasih, tapi juga berpengaruh ke hal lain dan bermakna," imbuhnya.

Ia memaparkan, sejak tahun 2017, angka perceraian meningkat signifikan. Dari jumlah pernikahan 2 juta per tahunnya, angka perceraian per tahun mendekekati 300 ribu.

"Ini saya kira mengkhawatirkan dan sebagian besar adalah permintaan istri. Hampir 75 persen perceraian di Indonesia adalah inisiatif istri. Ini bukan kesalahan istri, namun menunjukkan bahwa suami tidak bisa menjadi pemimpin atau kepala keluarga yang baik," kata dr. Hasto.

Adapun faktor utama penyebab perceraian secara umum adalah seperti perselingkuhan, ekonomi, ketidakstabilan emosi, kurangnya rasa hormat terhadap pasangan, dan lain-lain. 

BKKBN telah menyiapkan beberapa tools untuk para pasangan calon keluarga, untuk menilai kesiapan mereka. Mulai dari dari kesiapan usia, fisik, mental, finansial, moral, emosi, sosial, interpersonal, keterampilan hidup, dan kesiapan intelektual. Secara praktis bisa dilihat dicoba melalui situs web siapnikah.org.


Baca juga: Psikolog ungkap alasan pasangan memilih untuk "childfree"

Baca juga: Ini dampak hingga risiko biologis memilih "childfree"

Baca juga: Tren pernikahan era pandemi, lebih intim dan ramah teknologi

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021