Jakarta (ANTARA) - Sudah ada empat lembaga negara yang dilapori dan ikut memberikan analisis sekaligus putusan hukum terhadap proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dipilih sebagai cara alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara.

Keempat lembaga negara tersebut adalah Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

TWK sendiri dilaksanakan pada 18 Maret sampai 9 April 2021 oleh KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) terhadap 1.361 pegawai KPK.

Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, pelaksanaan TWK teresbut sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) Peraturan Komisi (Perkom) 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Perkom itu sendiri lahir sebagai amanat UU No 19 tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah (PP) No 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi pegawai ASN.

Berdasarkan landasan hukum tersebut, syarat yang harus dipenuhi pegawai KPK agar lulus asesmen TWK adalah (1) setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah yang sah, (2) tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan atau putusan pengadilan; dan (3) memiliki integritas dan moralitas yang baik.

Hasilnya, hanya ada 1.271 orang pegawai yang lolos dan telah dilantik sebagai ASN pada 1 Juni 2021.

Setelah KPK berkoordinasi dengan sejumlah lembaga negara termasuk BKN, diputuskan dari 75 orang pegawai yang tidak lolos TWK, ada 24 orang yang masih dapat dibina, artinya ada 51 orang pegawai yang akan diberhentikan.

Dari 24 orang tersebut, sebanyak 18 orang telah mengikuti pelatihan bela negara di Universitas Pertahanan dan akan menyusul dilantik sebagai ASN sehingga sebanyak 57 pegawai KPK akan diberhentikan dengan hormat pada 1 November 2021.

Baca juga: Beda temuan Dewas KPK dan Ombudsman mengenai tes wawasan kebangsaan

Atas kondisi tersebut, para pegawai KPK yang tidak lolos TWK dan pihak lain mengajukan laporan ke setidaknya empat lembaga negara.

1. Ombudsman RI
Mantan Direktur Pembinaan Jaringan Antarkomisi KPK Sujanarko mewakili 75 pegawai KPK pada 19 Mei 2021 melapor ke Ombudsman RI karena menduga adanya terkait dugaan maladministrasi yang dilakukan Pimpinan KPK dalam pelaksanaan TWK.

Pada 21 Juli 2021, Ombudsman dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) mengumumkan adanya perbuatan malaadministrasi yang dilakukan oleh KPK dan pihak terkait lainnya.

Pertama, terjadinya malaadministrasi dalam rangkaian harmonisasi peraturan sebagai dasar hukum pelaksanaan TWK yaitu dari UU No 19 tahun 2019 tentang KPK untuk diturunkan menjadi PP No 41 tahun 2020 dan Perkom 1/2021.

Ombudsman menyebut bahwa tidak ada dari lima orang pimpinan lembaga negara dan kementerian yaitu Ketua KPK Firli Bahuri, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Biroraksi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang hadir dalam rapat harmonisasi pada 26 Januari 2021 di Kemenkumham yang menandantangi berita acara harmonisasi. Pihak yang menandatangani berita acara adalah para pejabat yang tidak hadir.

Temuan kedua, malaadministrasi dalam tahap pelaksanaan asesmen KPK. Ombudsman menemukan Nota Kesepahaman Pengadaan Barang dan Jasa antara Sekjen KPK dan Kepala BKN ditandatangani pada 8 April 2021 sedangkan kontrak Swakelola pada 25 April 2021. Mou dan kontrak itu dibuat dengan tanggal mundur (back date) menjadi 27 Januari 2021.

Ombudsman juga menyorot peran BKN yang memberikan masukan tertulis agar ada pelaksanaan TWK oleh KPK bekerja sama dengan BKN pada rapat harmonisasi pada 26 Januari 2021 padahal dalam pelansakaannya BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen dan asesor untuk melaksanakan asesmen tersebut.

Temuan ketiga, dalam penetapan hasil TWK yaitu melalui Surat Keputusan Ketua KPK No 652 tahun 2021 yang menetapkan 75 pegawai Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk alih status Pegawai KPK menjadi ASN dan menyerahkan tugas serta tanggung jawab kepada atasan langsung adalah tindakan malaadministrasi.

Ombudsman lalu menyertakan tindakan korektif terhadap KPK yaitu agar 75 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK dialihkan statusnya sebagai ASN sebelum 30 Oktober 2021.

Atas temuan malaadministrasi tersebut, KPK lalu mengirimkan 13 butir keberatan ke Ombudsman RI pada 6 Agustus 2021.

Menurut Ghufron, Ombudsman dianggap tidak berhak untuk menilai rekrutmen pegawai suatu lembaga yang dinilai sebagai urusan internal lembaga tersebut, sementara kewenangan Ombudsman adalah mengurus pelayanan publik atau jasa dari lembaga publik tersebut.

Selain KPK, BKN pada 13 Agustus 2021 juga mengirimkan surat keberatan ke Ombudsman. Wakil Ketua BKN Supranawa Yusuf juga menyampaikan empat keberatan BKN tersebut.

"Pernyataan terkait nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN, tidak digunakannya nota kesepahaman dan kontrak swakelola tersebut karena anggarannya tidak jadi anggaran KPK maka itu adalah hal yang lazim, bisa dicek apakah ada proses penagihan nota," kata Supranawa menyampaikan salah satu butir keberatan BKN terhadap temuan Ombudsman.

Baca juga: Komnas HAM paparkan 11 poin dugaan pelanggaran HAM dalam TWK

2. Komnas HAM
Pada 24 Mei 2021, perwakilan pegawai KPK, salah satunya Novel Baswedan mengadu ke Komnas HAM. Ada delapan yang dianggap sebagai bentuk dugaan pelanggaran HAM dalam TWK.

Hasilnya pada 16 Agustus 2021, Komnas HAM menyebut ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam asesment TWK.

Ke-11 hak yang dilanggar itu adalah hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hak atas kebebasan berpendapat.

"Secara keseluruhan, kebijakan penyelenggaraan asesmen TWK dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi asesmen tidak memenuhi tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan karena tidak adanya kepastian hukum, tidak berkeadilan dan tidak memiliki manfaat terhadap pegawai KPK, khususnya yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS)," kata komisioner Komnas HAM Choirul Anam.

Komnas HAM menyebut penyelenggaraan maupun penyelenggara dalam proses TWK pun tidak memenuhi prinsip profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas, sehingga patut diduga proses tersebut dilakukan secara sewenang-wenang (abuse of power), tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, bahkan terdapat unsur kesengajaan yang terencana dalam penyelenggaraannya maupun pasca penyelenggaraan.

Terkait pembebastugasan pegawai KPK yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui alih status dalam asesmen TWK, menurut Komnas HAM, juga terdapat penggunaan stigma dan label "Taliban" sebagai basis dasar pembebastugasan.

"Hal ini terlihat dari perubahan mandat dan substansi alih status dari pengangkatan menjadi pengalihan hingga akhirnya disepakati menjadi asesmen atau seleksi dalam dinamika diskursus pembentukan Perkom KPK No. 1 Tahun 2021," ungkap Anam.

Tujuannya, menyingkirkan atau menyaring pegawai dengan label dan stigma dimaksud mulai dari proses perencanaan (membentuk Perkom, kerja sama dengan BKN, pembiayaan, menentukan metode, pihak yang terlibat dan asesor asesmen, hingga menyusun jadwal pelaksanaan); penyelenggaraan yang tidak transparan, diskriminatif dan terselubung, serta dominasi pihak tertentu dalam penetapan hasil memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat; pasca penyelenggaraan yang juga tidak terbuka, pengumuman hasil yang menimbulkan ketidakpastian, pembebastugasan pegawai yang TMS hingga pemilihan waktu pelantikan tanggal 1 Juni yang merupakan Hari Lahir Pancasila.

Padahal, menurut Komnas HAM, mekanisme alih status terhadap pegawai KPK sebagai konsekuensi dari perubahan UU KPK No. 19 Tahun 2019 cukup melalui "administrative adjustment".

Baca juga: MK nyatakan alih status pegawai KPK lewat TWK tetap konstitusional

3. Mahkamah Konstitusi (MK)
Pada 24 Juni 2021, Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia Yusuf Sahide mengajukan uji materiil ke MK agar dua pasal di UU No 19 tahun 2019 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua pasal tersebut adalah pasal 69B ayat (1) yaitu "Pada saat UU ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak UU ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Serta pasal 69C yang berbunyi "Pada saat UU ini mulai berlaku, Pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Yusuf Sahide berharap agar majelis MK mengubah kedua pasal tersebut menjadi "Pada saat UU ini mulai berlaku, Pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 tahun terhitung sejak UU 19/2019 mulai berlaku diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan (1) Bersedia menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), dan (2) Belum memasuki batas usia pensiun sesuai ketentuan perundang-undangan".

Namun sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams pada 31 Agustus 2021 menolak gugatan tersebut.

"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK sekaligus ketua majelis Anwar Usman.

Hakim MK menilai ketentuan yang terdapat dalam pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi karena bukan hanya berlaku bagi pegawai KPK yang tidak lolos TWK melainkan juga untuk seluruh pegawai KPK.

"Adanya fakta bahwa ada beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma," kata Anwar Usman.

Hakim MK juga menilai bahwa asesmen TKW tidak melanggar asal 28D ayat (2) UUD 1945 karena kekhususan syarat dalam sebuah pekerjaan yaitu melalui asesmen TWK tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) sepanjang dilakukan berdasarkan alasan dan melalui prosedur yang adil, rasional dan sah.

MK menegaskan bahwa desain pengalihan pegawai KPK menjadi ASN telah ditentukan UU 5/2014 tentan ASN dan peraturan pelaksananya dan salah satu ukuran umum yang telah diterima sebagai ukuran objektif untuk memenuhi syarat pengisian jabatan tersebut adalah Wawasan Kebangsaan yang juga menjadi syarat saat seleksi ASN dan saat pengembangan karier PNS sebagaimana diatur dalam UU 5/2014 dan peraturan pelaksananya.

"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, persyaratan demikian tidaklah tepat apabila dinilai sebagai ketentuan yang menghalangi hak seseorang warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan juga tidak dapat dipandang sebagai ketentuan yang mengandung perlakuan diskriminasi," ungkap hakim.

Namun dalam putusan itu, empat Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih memiliki alasan berbeda (concurring opinion).

Menurut keempat hakim konstitusi dan sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, "status peralihan" bagi penyelidik atau penyidik KPK dan bagi pegawai KPK bukanlah proses seleksi calon pegawai baru atau seleksi ASN baru yang mengharuskan untuk dapat dilakukan berbagai bentuk seleksi sehingga sebagiannya dapat dinyatakan "memenuhi syarat" dan sebagian lagi dapat dinyatakan "tidak memenuhi syarat" agar tetap memberikan kepastian hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK.

Artinya, seluruh pegawai KPK, menurut empat orang hakim MK, berhak untuk beralih status sebagai ASN. Setelah berstatus ASN maka dapat dilakukan tes untuk menentukan penempatan di KPK.

Baca juga: MA tolak gugatan pegawai KPK atas peraturan soal TWK

4. Mahkamah Agung (MA)
Pada 27 Mei 2021, dua orang pegawai KPK yang tidak lolos TWK Yudi Purnomo dan Farid Andhika juga mengajukan uji materiil ke MA.

Uji materiil tersebut terkait Perkom No 1/2021 yang dinilai bertentangan dengan UU No 19 tahun 2019 tentang KPK dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 70/PUU-XVII/2019 tanggal 4 Mei 2021.

Namun pada 9 September 2021, majelis hakim uji materiil MA yang terdiri dari Supandi (Ketua Muda MA urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara) selaku ketua majelis dengan didampingi Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono selaku anggota majelis menolak permohonan tersebut.

"Menolak permohonan keberatan hak uji materiil pemohon I Yudi Purnomo dan pemohon II Farid Andhika. Menghukum pemohon I dan pemohon II untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1 juta," demikian termuat dalam putusan No 26 P/HUM/2021 dalam laman MA.

Ada tiga alasan majelis hakim uji materiil menolak permohonan kedua pegawai KPK tersebut.

Alasan pertama, majelis menilai secara substansial desain pengalihan pegawai KPK menjadi ASN mengikuti ketentuan dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan peraturan pelaksanaannya, dan salah satu yang telah diterima sebagai ukuran objektif untuk memenuhi syarat pengisian jabatan tersebut adalah TWK yang juga menjadi syarat saat seleksi ASN dan saat pengembangan karier PNS

Kedua, majelis menyebut Perkom 1/2021 merupakan peraturan pelaksanaan dari PP 41/2020 dan UU 19/2019 sehingga asesmen TWK merupakan suatu sarana (tool) berupa norma umum yang berlaku bagi pegawai KPK sebagai persyaratan formal yaitu pegawai KPK yang setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 huruf b PP 41/2020.

"Para pemohon tidak dapat diangkat menjadi ASN bukan karena berlakunya Perkom 1/2021 yang dimohonkan pengujian, namun karena hasil asesmen TWK para Pemohon sendiri yang TMS, sedangkan tindak lanjut dari hasil asesmen TWK tersebut menjadi kewenangan pemerintah," demikian pertimbangan majelis.

Alasan ketiga, pertimbangan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 34/PUUXIX/2021 mengenai persoalan usia pegawai KPK yang telah mencapai usia 35 tahun dan dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan menjadi ASN tidak terkait dengan asesmen TWK.

"Jadi, pertimbangan kedua Putusan MK di atas tidak dapat diterapkan terhadap norma asesmen TWK yang diatur dalam Perkom 1/2021," ungkap majelis.

Baca juga: KPK: Putusan MK dan MA tepis tuduhan penerapan TWK malaadministrasi

Respon
Terhadap dua putusan uji materiil tersebut, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengklaim bahwa pelaksanaan TWK bukanlah perbuatan malaadministrasi.

"Putusan ini menepis tuduhan bahwa Perkom 1/2021 yang di dalamnya mengatur TWK dilakukan secara malaadministrasi termasuk tuduhan melanggar HAM pegawai KPK," kata Ghufron pada Jumat (10/9).

Menurut Ghufron, dengan putusan MK dan MA yang sudah final dan mengikat tersebut, pimpinan KPK berharap mengakhiri perdebatan mengenai TWK KPK.

"Kami mengajak semua pihak secara dewasa menerima putusan ini dan berdasarkan putusan MK dan MA tersebut, kami akan melanjutkan proses peralihan status pegawai KPK ini berdasarkan Perkom 1/2021 dan peraturan perundangan lain baik di internal KPK maupun tentang manajemen ASN," ungkap Ghufron.

Sedangkan Yudi Purnomo selaku penggugat di MA mengatakan putusan hakim MA secara tegas dan jelas menyatakan bahwa tindak lanjut hasil asesmen TWK merupakan kewenangan pemerintah bukan KPK.

"Oleh karena itu kami menunggu kebijakan dari Presiden Jokowi terhadap hasil asesmen TWK pegawai KPK yang saat ini belum diangkat sebagai ASN sesuai dengan perintah Undang-Undang KPK mengenai alih status Pegawai KPK menjadi ASN," tambah Yudi.

Selain itu, sejumlah pakar hukum dari Themis Indonesia Law Firm & Dewi Keadilan yang teridir dari Feri Amsari, Bivitri Susanti, Usman Hamid, Titi Anggraini, Nanang Farid Syam, Fadli Ramadhanil dan Ibnu Syamsu mengatakan kewenangan yang konstitusional tidak menjadi pembenar atas implementasi dari kewenangan tersebut yang dilakukan secara cacat prosedural dan melanggar HAM.

"Mahkamah tidak memutus apapun terkait prosedur yang cacat dalam pelaksanaan TWK oleh KPK, Badan Kepegawaian Negara atau pihak-pihak lain terlibat menyimpangkan kewenangan dalam pelaksanaan TWK. Sehingga putusan MK sama sekali tidak mengenyampingkan temuan Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," kata para peneliti Themis dalam keterangan tertulis pada 7 September 2021.

Meskipun TWK konstitusional namun tidak dapat proses pelaksanaanya tidak menjunjung nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) terkait perlindungan HAM dan ketentuan undang-undang lainnya, termasuk UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Mereka pun meminta pimpinan KPK mengakui kealpaan dalam proses penyelenggaraan TWK yang tidak sesuai dengan nilai-nilai UUD 1945, UU Administrasi Pemerintahan, UU HAM dan nilai-nilai tentang kejujuran, transparansi dan menjunjung kemanusian.

"Melaksanakan TWK ulang yang transparan dan/atau melakukan proses alihstatus sebagaimana pernah diberlakukan terhadap anggota TNI dan kepolisian tanpa perlu melakukan TWK dengan meminta Presiden Joko Widodo menyelesaikan berdasarkan ketentuan PP No 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS yang membuat Presiden berwenang melantik langsung pegawai KPK menjadi PNS," demikian disampaikan para peneliti.

Akhirnya akankah TWK tetap layak menjadi mekanisme konstitusional alih status pegawai KPK meski konsekuensinya ada 57 pegawai KPK yang saat ini non-aktif akan diberhentikan pada 1 November 2021?

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021