Kupang (ANTARA News) - Pada 20 Desember 2010, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Provinsi Nusa Tenggara Timur ke-52, Gubernur NTT Frans Lebu Raya meluncurkan sebuah program pembangunan ekonomi rakyat yang disebut Program Desa Mandiri Anggur Merah.

Program yang mulai dilaksanakan pada 2011 ini menyedot dana dari pendapatan asli daerah (PAD) yang tidak sedikit untuk ukuran NTT yakni mencapai Rp81,7 miliar.

Dana sebesar ini akan dibagikan kepada 287 desa pada 287 kecamatan. Setiap kecamatan ada satu desa yang paling miskin dan tiap desa mendapat dana Rp250 juta.

Alokasi anggaran untuk program Desa Mandiri Anggur Merah atau "anggaran untuk masyarakat menuju sejahtera" itu membuat semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Setda NTT harus memangkas biaya-biaya yang dinilai tidak bermanfaat untuk rakyat seperti biaya perjalanan dinas.

Frans Lebu Raya mengatakan Program Desa "Anggur Merah" sebagai penegasan tekad dirinya yang adalah anak petani dari desa untuk membangun dari desa.

Gubernur menyitir teori trickle down effect. Teori itu, menurut pendiri dan Direktur Yayasan Masyarakat Sejahtera (YASMARA) itu sangat bertentangan dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.

Teori ini mengasumsikan bahwa pembangunan secara perlahan akan memberi efek positif bagi masyarakat kecil yang tinggal di desa-desa. Teori itu sangat bertentangan karena idiologi berbeda.

Di barat, demikian  Lebu Raya, majikan atau tuan makan roti dan pembantu hanya mendapat remah-remahnya saja. Di Indonesia teori ini harus dibalik. Masyarakat harus juga memakan roti. Roti itu harus diberikan kepada masyarakat yang mayoritas bermukim di desa-desa.

"Rakyat sebagai pemilik kedaulatan negeri ini tidak boleh hanya mendapat remah-remahnya roti saja tetapi mereka harus menikmati langsung rotinya," katanya.

Untuk menyukseskan program ini, pemerintah propinsi sedang merekrut 287 pendamping yang akan bermukim di tiap Desa Mandiri Anggur Merah memberikan dampingan, agar dana yang dikucurkan itu benar-benar memberdayakan ekonomi masyarakat desa.

Pendamping wajib tinggal di desa dampingannya. Pendidikannya harus sarjana. Bila tidak tinggal di desa atau sebulan hanya satu dua kali ke desa, maka pemerintah tak segan-segan memberhentikannya.

"Tak ada kompromi. Urusan ini pemerintah tidak main-main. Kita pecat dan ganti yang lain," katanya.

Tinggal di desa itu menyenangkan asalkan dihayati secara sungguh. Tinggal di desa demi membantu sesama merupakan karya agung dan luhur. Tinggal dari mana sudut pandang ditilik. Di desa akan banyak varian yang dipelajari. Budaya, strata sosial, etos kerja, perilaku dan masih banyak hal lain yang patut dipelajari sehingga mereka yang sukses di desa akan menjadi kaya dalam berbagai perspektif kehidupan.

Ketika sudut pandang hanya mengobyekkan masyarakat maka akan muncul banyak persoalan, kata Lebu Raya.

Contohnya, pendamping akan bermain otak untuk kepentingan dirinya. Dia mengarahkan masyarakat agar dana itu dipakai untuk membangun jalan. Maka ia akan mencari kontraktor yang kemudian keduanya "bermain mata" untuk menghabiskan dana milik masyarakat.

Theresia Dore, penduduk Desa Demopagong, Kabupaten Larantuka, mengatakan seringkali terjadi kongkalikong antara pendamping desa dan kontraktor. Dana milik masyarakat dihabiskan pendamping.

Atas berbagai soal itu gubernur meminta agar masyarakat ikut mengawasi pendamping. "Buat laporan ke gubernur kalau terjadi permainan yang merugikan masyarakat," katanya.

Gubernur NTT juga mengungkapkan bahwa program yang diluncurkannya itu, oleh banyak pihak dinilai sarat kepentingan politik. "Itu benar", kata gubernur. Tetapi, politik yang bagaimana? Bukan dalam arti sempit kan? Politik di sini dalam konteks menyejahterakan masyarakat dan dilakukan secara sadar dan terencana.

"Kampung saya tidak mendapatkan program ini," kata Lebu Raya.

"Bila dalam politik yang sempit, maka dana itu dibagikan saja tiap desa Rp 50 juta dan tiap bulan saya melakukan kunjungan ke desa-desa itu. Tapi, untuk apa dana Rp 50 juta itu? Apakah bermanfaat? Rasanya tidak," tegasnya.

Apa pun "merek dagang" Gubernur NTT, ini harus tetap disosialisasi, "dijual", diperkenalkan, disebarluaskan kepada publik NTT, agar menjadi bagian dari kehidupan rakyat.

Diharapkannya dana itu dapat beranakpinak. Dapat berkembang dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Desa dapat memiliki dana abadi. Pemerintah juga akan melibatkan perbankan untuk mengembangkan program ini.

Hal ini disebabkan selama ini masyarakat melihat uang sebagai kekayaan yang ia simpan saja di bawah bantal atau di balik kasur. Uang itu tetap ia jaga padahal secara ekonomis bila disimpan di bank atau diputar akan bertambah.

Cita-cita luhur yang digagas awal tahun 2010, tidaklah semulus yang dibayangkan, karena selalu mendapat hadangan politis di parlemen ketika berlangsungnya pembahasan anggaran daerah.

Ada pula, lawan politik malah menuduh Program Desa Anggur Merah yang ditawarkan pemerintahan Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan wakilnya Esthon Foenay adalah jiplakan dari program Inpres Desa Tertinggal (IDT) semasa Orde Baru yang diarsiteki oleh Prof Dr Mubyarto (kini almarhum).

Tuduhan tersebut atas dasar sebuah analogi bahwa program Anggur Merah yang kemudian dikemas lebih rapi lagi dalam Program Desa Mandiri Anggur Merah, cukup mirip dengan program IDT, karena masing-masing desa yang menjadi fokus program tersebut mendapat alokasi anggaran dari APBD NTT sebesar Rp250 juta.

Ketua Komisi A DPRD NTT dari Partai Demokrat, Servatius Lawang, mengatakan bahwa tidak sepantasnya elemen masyarakat dan elite politik di daerah ini mempersoalkan Program Desa Mandiri Anggur Merah yang dicanangkan pemerintahan Gubernur Frans Lebu Raya dan wakil Esthon Foenay.

"Saya kira tidak pantas kita mempersoalkan Program Desa Mandiri Anggur Merah. Saya juga heran, mengapa program yang baik untuk kepentingan rakyat banyak ini dipersoalkan," katanya.

Sebagai wakil rakyat, kata Lawang, harus memberikan dukungan terhadap setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk kepentingan rakyat dan bukannya mempersoalkan dari mana datangnya program tersebut.

"Sebagai anggota dewan boleh-boleh saja tidak memberikan dukungan politik kepada Frans Lebu Raya sebagai Gubernur NTT, tetapi setiap program yang berpihak kepada kepentingan rakyat harus kita dukung. Kita jangan melihat dari sisi Frans Lebu Raya, tetapi melihat pada programnya," kata Lawang.

Menurut dia, lebih baik memberikan uang kepada rakyat sekaligus memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengelola, ketimbang menciptakan proyek yang di dalamnya lebih banyak korupsinya dan tidak memberi manfaat ekonomi untuk rakyat.

"Pejabat yang kelola uang lebih banyak korupsinya, jadi kalau sekarang diserahkan kepada rakyat, kita mesti memberikan dukungan secara optimal kalau memang semua sepakat untuk berpihak kepada rakyat," katanya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT, Abdul Kadir Makarim, menyatakan bahwa program Anggur Merah memiliki tujuan mulia untuk mensejahteraan masyarakat yang ada di pedesaan, karena itu tidak ada alasan untuk tidak memberikan dukungan terhadap program ini.

Hanya saja, dalam pelaksanaan program ini, harus dilakukan pengawasan secara intensif, agar tujuan dari program ini bisa benar-benar terwujud dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat daerah ini, katanya menambahkan.
(T.BT/P003)

Oleh Bernadus Tokan
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010