Jakarta (ANTARA) - Sebagai wilayah yang rawan bencana, Indonesia memiliki perhatian khusus untuk membentuk masyarakat yang siap siaga dan tangguh terhadap bencana.

Dari total sekitar 83 ribu desa dan kelurahan di Indonesia, lebih dari 53.000 desa dan kelurahan berada di daerah rawan bencana.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama periode 2001-2020, terjadi 33.412 kejadian bencana yang merenggut 191.529 jiwa dan merusak 2.710.441 rumah.

Kejadian bencana pada 2020 didominasi dengan bencana hidrometeorologi, sedangkan korban paling banyak disebabkan gempa dan tsunami Aceh pada 2004, dan kerusakan rumah paling banyak pada 2009.

Dari beragam peristiwa bencana tersebut, hampir 90 persen bencana hidrometeorologi, sedangkan 10 persen bencana geologi.

Bencana hidrometeorologi, antara lain banjir, kekeringan, puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, dan gelombang pasang/abrasi.

Sejak 1 Januari hingga 21 September 2021, ada 1.933 kejadian bencana yang didominasi oleh banjir, puting beliung, tanah longsor, serta kebakaran hutan dan lahan.

Bencana alam tersebut telah menyebabkan 514 orang meninggal dan 6.168.331 menderita serta mengungsi.

Jika tidak menyiapkan masyarakat yang tangguh bencana maka korban jiwa, kerugian, dan kerusakan akibat bencana akan terus meningkat. Selain itu, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana juga membutuhkan sumber daya yang besar, termasuk anggaran.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia melakukan Program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas yang mendorong munculnya peran aktif masyarakat, terutama di lokasi rawan bencana untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, serta memanfaatkan dan mengelola sendiri dalam setiap tahapan kegiatan pengurangan risiko bencana.

Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana yang dilakukan melalui penyadaran, peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana dan atau penerapan upaya fisik dan nonfisik yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara aktif, partisipatif, dan terorganisasi.

Baca juga: BNPB: Perlu kolaborasi pentahelix perbanyak Desa Tangguh Bencana

Program tersebut untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana, menyusun rencana pembangunan masyarakat berbasis pengurangan risiko bencana secara partisipatif, dan melaksanakan model pembangunan berbasis risiko bencana sehingga masyarakat memiliki kesiapsiagaan dalam pengurangan risiko bencana di wilayahnya.

Dengan demikian, diharapkan dapat terbangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan tentang kebencanaan.

Dalam pengurangan risiko bencana, poin utama menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama kegiatan.

Sebagai bentuk implementasi Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas, BNPB membangun desa/kelurahan tangguh bencana (destana/keltana) seperti penguatan destana di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa.

Destana atau keltana adalah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan jika terkena bencana.

Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Kesiapsiagaan BNPB Hadi Sutrisno mengatakan dalam kurun waktu 2001-2020, sudah terbentuk 1.116 destana. Hingga saat ini, BNPB masih terus berupaya untuk membangun dan mengembangkan destana.

Melalui kolaborasi berbagai pihak dan sejumlah kementerian/lembaga, BNPB berharap dapat meningkatkan jumlah destana atau keltana seluruh Indonesia.

Destana atau keltana meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ancaman dan risiko bencana di wilayah masing-masing.

Masyarakat mendapat pelatihan dan sosialisasi, serta pendampingan dalam pelaksanaan kegiatan mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pembangunan, hingga keberlanjutan untuk pengelolaan risiko bencana.

Masyarakat juga menjadi lebih aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan melakukan kegiatan pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana.

Destana atau keltana membangun koordinasi dan kerja sama yang baik dan saling mendukung di berbagai sektor secara terpadu dalam penanggulangan bencana.

Selain itu, terjalin kemitraan atau kerja sama antara individu, kelompok atau organisasi-organisasi untuk melakukan kegiatan mencapai tujuan bersama untuk pengurangan risiko bencana.

Koordinasi juga ditingkatkan secara intensif dengan pemerintah setempat dan lembaga yang bergiat pada kegiatan pengurangan risiko bencana.

Baca juga: BNPB bentuk 1.116 Desa Tangguh Bencana

Berdasarkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, pengembangan kapasitas masyarakat destana/keltana dilaksanakan melalui kegiatan pelatihan untuk pemerintah desa, tim relawan dan warga desa, pelibatan/partisipasi warga desa, serta pelibatan perempuan dalam tim relawan.

Destana menyusun rencana aksi penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, dan didukung dengan kebijakan atau peraturan di desa atau kelurahan tentang penanggulangan bencana atau pengurangan risiko bencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana di destana/keltana mencakup kegiatan menyusun peta dan analisa risiko, peta dan jalur evakuasi serta tempat pengungsian, memiliki sistem peringatan dini, melakukan pelaksanaan mitigasi struktural, memiliki pola ketahanan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat.

Selain itu, mempunyai perlindungan kesehatan terhadap kelompok rentan, merancang dan melakukan pengelolaan sumber daya alam untuk pengurangan risiko bencana serta perlindungan aset produktif utama masyarakat.

Agar dapat memahami dan memperluas cakupan destana/keltana, BNPB bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyusun suatu standar tentang destana dan keltana.

BSN mengeluarkan SNI 8357-2017 Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana yang dapat menjadi acuan untuk pembentukan destana/keltana. SNI itu berisi persyaratan untuk destana dan keltana yang mencakup istilah, prinsip, dan indikator.

Indikatornya, antara lain penguatan kualitas dan akses layanan dasar, adanya penguatan sistem koordinasi dalam pengelolaan risiko bencana, penguatan pengelolaan risiko bencana, serta penguatan sistem kesiapsiagaan untuk mendukung kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di desa dan kelurahan.

SNI itu hendaknya diterapkan pada masyarakat daerah rawan bencana untuk bekal dalam menghadapi potensi bahaya bencana.

Baca juga: Kabupaten OKI optimalkan 13 Desa Tangguh Bencana cegah karhutla

Penguatan sistem koordinasi dalam pengelolaan risiko bencana di destana dan keltana ditunjukkan dengan adanya forum lintas desa dan kelurahan pada suatu kawasan yang memiliki bahaya yang sama untuk mengelola risiko bencana.

Selain itu, terciptanya kerja sama dan koordinasi antara desa, kelurahan, dan multipihak serta terjalinnya sinergitas program antarpihak yang berkepentingan dalam pembangunan di desa dan kelurahan terkait pengelolaan risiko bencana.

Untuk memperkuat pengelolaan risiko bencana, destana/keltana harus memiliki hasil kajian wilayah dengan perspektif kebencanaan, regulasi terkait pengelolaan risiko bencana, pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan risiko bencana, serta aksi masyarakat dalam pengelolaan risiko bencana.

Di samping itu, dilakukan penguatan sistem kesiapsiagaan untuk mendukung kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di desa dan kelurahan melalui pembentukan sistem kesiapsiagaan bencana, dan perencanaan pembangunan kembali yang lebih baik untuk mencegah risiko baru dan mengurangi risiko bencana yang ada.

Kepala Dusun Srodokan Gungan, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta, Totok Hartanto, mengatakan penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga swasta tetapi juga komunitas atau masyarakat harus ikut berperan.

Dusun Srodokan mempunyai inisiatif dan berkomitmen bersama untuk bergotong royong mengelola risiko bencana. Hal itu ditunjukkan dengan adanya komitmen bersama tertulis dan ditandatangani oleh tokoh masyarakat.

Daerah tersebut juga melakukan strategi mandiri untuk mengurangi risiko bencana, yaitu pemetaan kelembagaan dusun, pemetaan potensi, pelestarian dan pemanfaatan kearifan lokal seperti gotong royong, penyiapan sistem peringatan dini, peningkatan kapasitas masyarakat serta bekerja sama dengan universitas untuk menjalankan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pemulihan ekonomi pascabencana, seperti bencana letusan Merapi pada 2010.

Masyarakat setempat juga mengenali risiko bencana dan membangun komitmen untuk siaga bencana.

Pembangunan dan pengembangan masyarakat destana atau keltana bagian dari sistem kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi bencana di negeri yang rawan bencana ini.

Destana atau keltana menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama yang siaga terhadap bencana dan aktif dalam setiap kegiatan pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana.

Dengan terbangunnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, diharapkan risiko bencana dapat diminimalkan, terutama terkait dengan korban jiwa dan kerugian material.

Baca juga: Lebih 53.000 desa berada di kawasan rawan bencana, sebut BNPB
Baca juga: Merapi dan pengetahuan mitigasi bencana
Baca juga: Memperkuat mitigasi lewat desa tangguh bencana

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021