Ada kasus kecurangan rekapitulasi suara yang terjadi di sejumlah daerah saat pilkada serentak.
Tanjungpinang (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menyatakan kebutuhan pemilu berdasarkan pengalaman sebelumnya bukan e-Voting melainkan e-Rekap.

Ketua KPU RI Ilham Saputra yang dihubungi, di Tanjungpinang, Rabu, menegaskan digitalisasi pemilu harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, efektif, dan optimal.

"Peluang kecurangan pemilu lebih banyak terjadi bukan pada tahapan pemungutan suara atau pencoblosan surat suara, melainkan saat rekapitulasi. Ada kasus kecurangan rekapitulasi suara yang terjadi di sejumlah daerah saat pilkada serentak," ujarnya.

Menurut dia, e-Rekap menutup kemungkinan terjadi kecurangan. Pertama kali dilaksanakan pada Pilkada Serentak Tahun 2020. Hasilnya, cukup memuaskan.

Hasil pemungutan suara yang masuk ke sistem e-Rekap mencapai 60 persen pada hari pertama pemungutan suara. Pelanggaran yang terjadi saat pilkada terkait rekapitulasi juga tidak signifikan.

Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan e-Rekap yakni jaringan internet yang kurang memadai, terutama di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Kondisi ini masih ditemukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Papua.

"Pemilu Serentak Tahun 2024 akan menggunakan e-Rekap. Tentu segala kekurangan dalam pelaksanan e-Rekap akan dibenahi, terutama terkait jaringan internet," ujarnya lagi.

Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Bismar Arianto mendorong Pemilu 2024 berbasis digital untuk mengurangi energi penyelenggara pesta demokrasi tersebut.

"Proses pemilu yang diselenggarakan secara digital atau elektronik sebaiknya diterapkan dengan sistem yang kuat dan terintegrasi, sehingga menghasilkan pemilu yang berkualitas, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan," kata Bismar yang juga mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMRAH.

Ia mengemukakan e-Voting dalam pemilu bukan sesuatu yang tabu diselenggarakan di Indonesia, mengingat banyak negara yang sukses melaksanakannya. Apalagi hampir dua tahun ini, sejak pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia semakin dekat dengan teknologi informasi.

Sistem digitalisasi mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama pandemi tanpa melakukan transaksi secara manual. Karena itu, menurut dia, masyarakat sudah terbiasa dan melek terhadap kemajuan teknologi informasi yang dapat dimanfaatkan pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk meningkatkan kapasitas pemilu melalui digitalisasi pemilu.

"Digitalisasi pemilu bukan ide baru, namun belum dilaksanakan. Mungkin karena berbagai pertimbangan. Tetapi sekarang saya pikir perlu dilaksanakan dengan pertimbangan seperti protokol kesehatan, akurasi perolehan suara, antisipasi penyelenggara pemilu kelelahan dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, dan mengurangi biaya pemilu," ujarnya.

Bismar mengemukakan digitalisasi pemilu merupakan pilihan bagi negara, yang ingin pelaksanaan pemilu tidak menguras energi, dengan hasil yang maksimal. Sistem ini hanya perlu dibangun dengan kuat dan mudah digunakan masyarakat.

"Tentu orang-orang yang ahli IT, yang mampu membangun sistem ini agar tidak bisa diretas oleh pihak mana pun," ujarnya pula.

Pilihan lainnya yang diusulkan Bismar yakni sistem pemilu manual, namun tidak diselenggarakan secara serentak antara pemilu legislatif dengan pemilu eksekutif. Pemilu legislatif semestinya dilaksanakan lebih dahulu, sehingga menjadi tolak ukur dalam penyelenggaraan pemilu eksekutif tingkat pusat hingga daerah.

"Syarat mengusung pasangan calon dalam pilkada itu 'kan harus berdasarkan jumlah kursi atau jumlah suara yang diperoleh pada pemilu legislatif. Jadi, yang relevan digunakan itu, bukan hasil pemilu 5 tahun sebelumnya karena sudah kedaluwarsa," katanya lagi.
Baca juga: Kemendagri: 2024 butuh penyelenggara pemilu mampu tangani COVID-19
Baca juga: Pengamat mendorong Pemilu 2024 berbasis digital


Pada Pemilu Serentak 2019, kata dia, hasil pemilu 5 tahun sebelum dijadikan tolak ukur apakah koalisi partai pengusung kandidat tertentu pada pemilu eksekutif memenuhi syarat atau tidak. Jika pada Pemilu 2014 tidak memenuhi perolehan suara 20 persen atau kursi di legislatif 25 persen, maka tidak dapat mengusung kandidat pilkada.

"Tentu itu tidak relevan dengan kondisi terkini," ujarnya.

Ia menuturkan pemisahan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif tahun 2024 juga untuk mengurangi energi penyelenggara pemilu, jangan sampai banyak penyelenggara pemilu ad hoc sakit dan meninggal dunia karena kelelahan seperti peristiwa tahun 2019 terulang lagi.

"Memang membutuhkan anggaran yang besar bila pemilu dilaksanakan secara terpisah, tetapi keselamatan penyelenggara pemilu juga perlu diperhatikan," katanya pula.

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021