Elastisitas konsumsi rokok itu relatif kecil, jadi ada shifting dari konsumsi rokok golongan tinggi ke golongan rendah
Jakarta (ANTARA) - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Alat Penyegar Kementerian Perindustrian Edi Sutopo mengatakan bahwa sebanyak 4 ribu tenaga kerja industri rokok mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2020.

“Sebagai pembina industri, kami mencatat pada 2020 sebanyak 4 ribu lebih tenaga kerja industri rokok di-PHK,” kata Edi dalam diseminasi hasil riset CISDI secara daring yang dipantau di Jakarta, Kamis.

PHK itu, menurut Edi, terjadi karena produksi industri rokok menurun. Meskipun demikian, konsumen sebetulnya tidak benar-benar mengurangi konsumsi rokok, melainkan menurunkan golongan rokok yang dikonsumsi, hingga beralih pada rokok tingwe (linting dewe/linting sendiri) atau rokok ilegal.

“Elastisitas konsumsi rokok itu relatif kecil, jadi ada shifting dari konsumsi rokok golongan tinggi ke golongan rendah, termasuk ke tingwe dan ilegal. Ini berdampak negatif terhadap kesehatan tapi negara tidak dapat apa-apa,” ucapnya.

Menurut Edi, kenaikan tarif CHT juga membuat tembakau petani tidak dapat terserap industri karena permintaan rokok menurun. Karena itu, ia mengatakan akan melakukan kajian bersama kementerian dan lembaga lain agar kenaikan CHT tidak terdampak negatif terhadap pelaku industri.

“Dari sisi buruh pabrik saja ada 600 ribu yang terserap industri rokok, jutaan petani tembakau dan cengkeh, dan ada tenaga distribusinya juga,” katanya.

Di samping itu, kenaikan CHT juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan penerimaan negara. Pasalnya, apabila CHT naik sampai mengurangi konsumsi rokok, penerimaan negara juga bisa berkurang.

“Industri rokok berkontribusi kurang lebih 11 persen terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ucapnya.

Sementara itu, terkait simplifikasi tarif CHT, Edi memandang 10 lapisan tarif CHT yang ditetapkan mulai 2018 lalu sudah cukup sederhana. Pada 2009 lalu, tarif CHT bahkan mencapai 19 lapisan.

Ia khawatir apabila disederhanakan lagi, industri kecil dan menengah rokok akan berhadapan langsung dengan industri besar hingga tidak mampu bersaing. Di samping itu, negara juga berpotensi kehilangan pendapatan karena konsumen akan lebih memilih membeli rokok ilegal.

“Dengan struktur yang lebih simpel, tarif cukai rokok yang paling rendah akan meningkat sehingga harganya pun meningkat. Jarak harga rokok yang paling rendah akan lebih lebar dibandingkan rokok ilegal sehingga masyarakat berpotensi lebih memilih rokok ilegal,” terangnya.

Baca juga: Kemenkeu: DBH CHT dialokasi untuk petani antisipasi kenaikan cukai
Baca juga: CISDI: Kenaikan cukai rokok tambah penerimaan negara Rp7,92 triliun
Baca juga: Pemerintah diminta realisasikan dana bagi hasil cukai hasil tembakau


Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021