maka analisisnya mengarah pada awan panas disebabkan oleh runtuhnya kubah lava
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi menyebutkan bahwa penghitungan volume kubah lava Gunung Semeru memungkinkan digunakan untuk memprediksi jarak luncur awan panas gunung itu saat meletus pada Sabtu (4/12).

"Seharusnya memang (kubah lava, red.) bisa dihitung volumenya apalagi sudah ada teknologi image sehingga bisa diperkirakan jarak luncurannya. Ini yang kita bertanya-tanya kenapa bisa 'miss prediction'," kata dia saat jumpa pers di Auditorium Fakultas MIPA UGM di Yogyakarta, Senin.

Selain data volume kubah lava, menurut dia, informasi mengenai jumlah material di puncak Gunung Semeru juga belum tersedia.

Sebelumnya, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani menyatakan berdasarkan pengamatan visual dan alat-alat seismometer, awan panas guguran pada Sabtu (4/12) memiliki jarak luncur mencapai 11 km dari puncak Semeru.

Sementara rekomendasi batas aman kepada masyarakat di lereng Gunung Semeru masih ditetapkan dalam Status Level II (Waspada) yakni pada radius satu kilometer dari kawah/puncak Gunung Semeru dan jarak lima kilometer dari arah bukaan kawah di sektor selatan-tenggara.

"Informasi 11 kilometer itu memang dari PVMBG. Jadi jarak dari puncak sampai ke titik terjauh," kata dia.

Baca juga: Pakar Unpad jelaskan banjir lahar saat erupsi Semeru dipengaruhi cuaca

Selain itu, kata dia, informasi mengenai data kegempaan di Gunung Semeru yang meningkat selama 90 hari terakhir juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi gejala awal atau prekursor letusan.

"Sejak 90 hari terakhir itu ada peningkatan kegempaan. Jadi rata-rata di atas 50 kali per hari dalam 90 hari terakhir, bahkan ada yang sampai mencapai 100 kali per hari. Ini sebenarnya sudah tanda-tanda, bisa dijadikan prekursor terjadinya erupsi," ujar dia.

Menurut dia, aktivitas vulkanik gunung api tidak sama dengan gempa bumi yang prekursornya tidak bisa diketahui.

Meski demikian, seperti perkiraan Kementerian ESDM, ia menyebutkan bahwa luncuran awan panas guguran di Gunung Semeru cenderung dipicu oleh faktor eksternal yakni tingginya curah hujan.

Curah hujan yang tinggi di sekitar Semeru mengakibatkan ketidakstabilan kubah lava sehingga menyebabkan longsoran awan panas.

"Sehingga jarak luncurannya jauh ya kebetulan memang prediksinya hanya lima kilometer," ucap dia.

Seismolog UGM Ade Anggraini menyebutkan berdasarkan data seismik PVMBG, grafik gempa letusan atau gempa erupsi selama 90 hari terakhir menunjukkan peningkatan.

Data tersebut mengindikasikan bahwa material sudah naik ke permukaan Semeru.

"Material di permukaan itu sudah kelihatan di 90 hari terakhir sebelum 4 Desember kemarin. Jadi kalau kita lihat analisis lebih detail, sudah ada penumpukan material di permukaan cukup banyak," kata dia.

Baca juga: Tim UGM lakukan asesmen dampak letusan Gunung Semeru

Meski demikian, lanjuta Ade, data PVMBG yang menyebut tidak ada gempa vulkanik dalam (VTA) dan gempa vulkanik dangkal (VTB) di gunung itu sebelum terjadi letusan menunjukkan tidak adanya kecenderungan suplai material baru dari bawah.

"Jadi benar-benar (sudah ada, red.) penumpukan material di permukaan lalu terjadi awan panas, maka analisisnya mengarah pada awan panas disebabkan oleh runtuhnya kubah lava," kata dia.

Menurut dia, setiap gunung memiliki karakteristik yang tidak sama.

Ia berpendapat letusan yang terjadi pada Sabtu (4/12) berkaitan dengan karakteristik erupsi Semeru yang berbeda dengan gunung api aktif lainnya.

"Ketidakpastian di dalam faktor yang kemudian membuat menjadi lebih panjang itu memang kadang di luar kuasa kita, karena kita hanya berbicara dengan data analisis yang kita punya," kata dia.

Baca juga: Antisipasi letusan Gunung Semeru, mitigasi bencana yang tak mudah
Baca juga: Perlu rapat koordinasi turunkan nakes bantu evakuasi letusan Semeru
Baca juga: Status Gunung Semeru masih tetap waspada

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021