Jangan sampai konflik sudah pecah barulah Komnas HAM dilibatkan untuk menyelesaikan perkara tersebut.
Jakarta (ANTARA) - Saat ini negara-negara di dunia tidak terkecuali Indonesia berlomba-lomba untuk memajukan ekonomi masa depan, salah satunya melalui pengembangan sektor pariwisata.

Secara garis besar, tentu saja hal tersebut baik karena bertujuan untuk menghidupkan dan meningkatkan perekonomian masyarakat di Tanah Air. Harapannya ekonomi nasional pun kian membaik. Apalagi, di tengah pandemi COVID-19 yang masih melanda Ibu Pertiwi, berbagai sektor kehidupan porak-poranda oleh virus tersebut.

Akan tetapi, jika ditinjau dari segi hak asasi manusia (HAM), pengembangan sektor pariwisata tak jarang pula atau berpotensi berbenturan kepentingan. Pada akhirnya masyarakat kecil yang menjadi korban atas masalah tersebut.

Pembangunan atau pengembangan sektor pariwisata berskala besar perlu memahami aspek-apsek mendasar agar terhindar atau tidak berbenturan dengan HAM.

Pasalnya, setiap proyek yang akan digarap oleh negara harus betul-betul mewakili setiap kebutuhan dan kepentingan individu yang ada di sekitarnya. Jangan sampai keuntungan finansial dari megaproyek pariwisata malah menimbulkan masalah sosial bagi warga setempat.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin lantas memandang perlu mencari tahu apakah proyek itu menjadi masa depan atau justru malah membuat warga jadi miskin.

Oleh karena itu, secara bersama, terutama pemangku kepentingan perlu memikirkan dan mengkaji ulang sejauh mana sebenarnya manfaat atau faedah dari pembangunan sebuah proyek pariwisata yang akan digarap.

Dengan kata lain, Pemerintah perlu duduk bersama memikirkan agar proyek tersebut menjadi kesejahteraan untuk rakyat. Bagaimanapun tidak ada seorang pun yang ingin kembali melihat atau mendengar jeritan ibu-ibu yang harus kehilangan tanahnya hanya karena pembangunan atau pengembangan sektor pariwisata.

Pengembangan sektor pariwisata yang bertabrakan dengan penegakan HAM sejatinya cukup banyak terjadi di Tanah Air. Amiruddin lantas mencontohkan pembangunan salah bandara di Pulau Jawa yang pada prosesnya terjadi penolakan dari masyarakat.

Secara detail aktivis kemanusiaan kelahiran Pariaman, Sumatera Barat tersebut enggan menyebut pembangunan tersebut berada di daerah mana. Namun, pada intinya pembangunan bandara yang bertujuan untuk mendukung sektor pariwisata tersebut mendapat perlawanan dari masyarakat yang sudah menempati daerah itu hingga puluhan tahun lamanya.

"Prosesnya berdarah-darah," kata dia.

Bahkan, dia bersama komisioner Komnas HAM lainnya harus berulang kali ke daerah tersebut untuk menyakinkan masyarakat setempat tentang hak yang mereka terima imbas dari pembangunan bandara.

Menurut dia, masalah atau gejolak yang terjadi sejatinya bisa dihindari jika pihak terkait masuk dengan cara yang baik pula. Artinya, di awal masyarakat setempat harus diajak duduk bersama dan berbicara.

Tentu saja segala sesuatu yang menjadi hak warga negara itu harus dipenuhi negara sebagai imbas mereka dipindahkan akibat pembangunan bandara yang dibungkus sebagai pemajuan ekonomi dan pariwisata.

Ia mewanti-wanti jangan sampai di kemudian hari ketika pemerintah ingin mengembangkan sektor pariwisata di suatu daerah, tiba-tiba saja menyuruh warga untuk pindah tanpa ada komunikasi dua arah.

Perlu diingat, Indonesia sebagai negara yang majemuk atau beragam bisa hidup rukun dan damai karena adanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan dikuatkan pula oleh falsafah bangsa yakni Pancasila.

Baca juga: Komnas HAM: Pembangunan pariwisata harus perhatikan dampak masyarakat

Baca juga: Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta capai 94 persen


Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dilakukan terutama penyelenggara negara harus mencerminkan perilaku dari dua hal tersebut. Jangan sampai pancasila hanya sebatas buah bibir yang berisikan lima butir belaka.

"Kita bisa setiap hari bicara soal Pancasila. Akan tetapi, kalau rakyat kehilangan sumber mata pencariannya, sesungguhnya kita tidak menjalankan Pancasila dengan sungguh-sungguh," kata dia.

Kesejahteraan adalah HAM

Semua negara di dunia termasuk Indonesia sejak 15 tahun silam mulai memperhatikan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konstitusi juga diamanatkan bahwa kesejahteraan tiap-tiap orang adalah HAM.

Jika ingin memajukan kesejahteraan setiap warga negara, tolok ukur pertamanya ialah HAM, bukan yang lain. Namun, bila yang menjadi pijakan dasar adalah keuntungan atau bisnis, kesejahteraan akan sulit dicapai.

Melirik 35 tahun ke belakang, Indonesia sebetulnya bisa berkaca atau belajar dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang bertabrakan dengan bisnis. Contohnya PT Freeport Indonesia.

"Jangan sampai karena menimbang investasi kita mengabaikan perintah konstitusi," kata Ketua Konsultan/Peneliti Papua Resource Center, YLBHI Jakarta 2015 hingga 2017 tersebut.

Artinya, setiap proyek atau bisnis yang akan dikembangkan sama sekali tidak boleh bertabrakan atau melanggar hak masing-masing individu.

Dalam perjalanannya, menjalankan bisnis yang sejalan dengan prinsip HAM memang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Selain itu, tentu saja bukan perkara mudah.

Meskipun hal tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu, tetap harus diselesaikan atau dikerjakan oleh penyelenggara negara yang telah dipercayakan oleh masyarakat.

"Kalau tidak mau menghadapi kesulitan jangan mau jadi pejabat negara," ujarnya.

Guna mencegah tabrakan antara bisnis dan HAM, Pemerintah disarankan melibatkan Komnas HAM apabila ingin menggarap proyek-proyek besar. Tujuannya supaya perspektif dan upaya menghargai hak tiap-tiap warga negara bisa disadari dan dilindungi bersama.

Jika hal tersebut telah dijalankan dan tetap ada masalah, Komnas HAM sebagai salah satu lembaga yang fokus menangani penegakan HAM sudah tahu duduk perkaranya, termasuk upaya mencarikan solusi.

Oleh karena itu, Amiruddin mengingatkan jangan sampai konflik sudah pecah barulah Komnas HAM dilibatkan untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Akibatnya, butuh waktu lama bahkan berlarut-larut menyelesaikan masalah tersebut. Tidak hanya itu, proyek yang awalnya dirancang sedemikian rupa juga terbengkalai akibat benturan bisnis dan HAM.

Apalagi, saat ini yang menjadi tantangan terbesar dunia bukan lagi soal aparatur yang memonopoli kekerasan terhadap warga sipil, melainkan lebih pada bisnis dan HAM.

"Bisnis kekuatannya jauh lebih besar dan kuat daripada pemerintah daerah," ujar dia.

Oleh karena itu, penting diketahui oleh pemangku kepentingan, terutama kepala daerah, bahwa investasi skala besar tidak serta-merta menjamin kesejahteraan warga apabila tidak dikelola dengan baik dan respek pada HAM.

Dengan demikian, berbagai proyek strategis nasional yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata haruslah menimbang faedah dan mudaratnya. Masalahnya, yang terpenting ialah bagaimana menjamin segala hak masyarakat yang telah diatur secara jelas dalam konstitusi.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021