Tantangan yang dihadapi keluarga yang memiliki anak dan remaja terlahir di era digital kerap menghadapi kesulitan dalam melakukan pengasuhan karena adanya perbedaan generasi dan adaptasi media digital
Jakarta (ANTARA) - Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 telah dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Januari lalu, dan memberikan gambaran demografi Indonesia yang mengalami banyak perubahan dari hasil sensus sebelumnya di tahun 2010.

Hasil sensus menunjukkan komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar berasal dari Generasi Z (Gen Z) sebesar 27,94 persen, yaitu generasi yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012 dan Gen Y lahir antara 1980-2000 atau sering disebut sebagai generasi milenial sebanyak 25,87 persen dari total penduduk Indonesia.

Generasi yang lahir pada periode Y dan Z memiliki keistimewaan karena Indonesia tengah berada pada periode yang dinamakan sebagai Bonus Demografi pada tahun 2025-2035 menuju 100 tahun Indonesia emas pada tahun 2045. Anak-anak dan remaja dari generasi tersebut yang akan memimpin bangsa ini di tahun 2045 kelak.

Tahun menuju Indonesia emas menjadi eranya kaum milenial Gen Y dan Gen Z yang memiliki kekhasan perilaku berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

Generasi milenial sangatlah mahir dalam menggunakan teknologi berbasis digital dan internet. Generasi milineal memiliki karakteristik yang khas, yaitu lahir pada zaman televisi sudah berwarna, berkomunikasi sudah menggunakan gawai atau telepon seluler yang terus berganti, internet menjadi kebutuhan pokok untuk terhubung ke jejaring sosial media.

Adanya teknologi digital ini membuat semua orang terhubung ke sosial media yang lama-kelamaan menjadi candu baik bagi para generasi Z, X maupun generasi Y. Kecanduan ini membuat mereka betah berlama-lama membuka sosial media melalui smartphone ataupun tablet. Sosial media yang kerap menjadi ajang membangun jejaring sosial, antara lain TikTok, Instagram, Facebook, Twitter, dan lain-lain.

Kehadiran berbagai platform berjejaring sosial telah memunculkan kondisi khas dari para generasi milenial yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka umumnya sangat malas untuk beraktivitas.

Mereka memilih menghabiskan waktunya di depan layar tablet, telepon seluler atau laptop daripada beraktivitas fisik yang mengakibatkan banyak remaja semakin canggung untuk bersosialisasi dan lebih sering menyendiri untuk menikmati hidupnya.

Generasi muda kini banyak berhadapan dengan masalah kesehatan mental mulai dari kecanduan game, mudah stres hingga obesitas sebagai sisi gelap dari pesatnya kemajuan teknologi digital.

Di tengah tantangan dan tuntutan memaksimalkan bonus demografi, ironinya masih banyak anak muda Indonesia yang masuk dalam kategori generasi Y tersebut belum menyadari bahwa mereka menjadi bagian dari generasi emas, dan tidak mengetahui apa yang harus mereka siapkan.

GueMuda, platform komunitas anak muda di Indonesia, pada Maret 2022 menggagas survei di tujuh kota besar meliputi Jabodetabek, Medan, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Hasil survei menunjukkan, terdapat 37 persen responden yang tidak menyadari bahwa mereka menjadi bagian dari periode bonus demografi.

Survei yang dilakukan dengan sasaran responden usia 15 tahun hingga 39 tahun tersebut juga menunjukkan bahwa masih cukup banyak responden yang tidak yakin bahwa mereka telah melakukan manajemen yang baik untuk menyongsong masa depan dengan prosentase 42,5 persen meski mayoritas responden yang mengetahui istilah dan definisi bonus demografi mencapai angka 66,4 persen.

Dari hasil survei menunjukkan gambaran masih terdapat gap yang cukup besar terkait pemahaman mengenai pentingnya bonus demografi di kalangan anak muda, sehingga mereka tidak mempersiapkannya dengan baik.


Pengasuhan digital

Saat ini, Indonesia masih dihadapkan pada salah satu permasalahan kesehatan yang kerap kali dialami remaja, yakni kesehatan mental yang ditimbulkan sebagai kombinasi dari pemakaian gawai yang berlebihan, masalah di lingkungan keluarga, dan pornografi.

Generasi muda saat ini terkesan kurang mempedulikan kesehatannya, terbukti dari gaya hidup yang tidak sehat. Gaya hidup tidak sehat ini muncul dari berbagai aspek, salah satunya adalah teknologi yang memunculkan kemudahan ketika menginginkan segala sesuatunya menggunakan kendali jarak jauh dan teknologi.

Gawai pada hakikatnya memiliki banyak dampak positif untuk mempermudah berbagai pekerjaan manusia, memperoleh informasi terkini dan mempermudah interaksi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun di sisi lain, penggunaan gawai yang terlalu sering juga akan memberikan dampak negatif yakni dapat menyebabkan kecanduan dan dapat mempengaruhi perilaku penggunanya jika tidak bijak dalam memakainya.

Stres menjadi salah satu masalah kesehatan mental yang dihadapi generasi muda.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam suatu kesempatan mengatakan tantangan yang mengancam bonus demografi, selain tengkes atau kekerdilan (stunting) juga pada kualitas sumber daya manusia.

Tantangan yang dihadapi keluarga yang memiliki anak dan remaja terlahir di era digital kerap menghadapi kesulitan dalam melakukan pengasuhan karena adanya perbedaan generasi dan adaptasi media digital karena sejatinya orang tua termasuk dalam generasi imigran digital, yaitu tumbuh sebelum lahirnya media digital sedangkan anak merupakan generasi digital.

Orang tua dan anggota keluarga didorong untuk turut memahami praktik pengasuhan digital, antara lain yaitu meningkatkan literasi digital, mengenal sisi positif dan negatif era digital, mengajarkan anak untuk memilih informasi internet dengan benar, evaluasi bersama anak dan remaja terkait konten, menciptakan lingkungan digital yang sehat, dan mengenalkan etika dalam berinteraksi di dunia maya.

Pemahaman tentang bonus demografi jangan sampai terlewatkan karena generasi Y dan Z asyik dengan dunianya sendiri sehingga orang tua dan anggota keluarga perlu membangun pola komunikasi yang baik dan sehat.

Sebelum menjelajahi lebih dalam terkait peran signifikan kaum muda dalam transformasi digital, kemampuan kognitif dan emosional harus menjadi ondasi utama agar teknologi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menunjang kehidupan yang lebih baik khususnya pada era bonus demografi. Pengasuhan keluarga menjadi sumber kekuatan untuk mengantar generasi Y dan Z meraih peluang kesejahteran sosial dan ekonomi lebih baik di eranya.

Indonesia kini dihadapkan pada kondisi harap-harap cemas untuk memetik bonus demografi karena kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah. Data yang dikutip dari BKKBN menyebutkan tingkat pendidikan rata-rata penduduk hanya delapan koma, artinya rata-rata tidak lulus SMP.

Bangsa Indonesia tentu saja tidak ingin kehilangan kesempatan emas dari bonus demografi yang tidak akan berjalan lama dan diperkirakan tahun 2035 sudah menutup celahnya.

Karena itu, kalau bangsa ini tidak memanfaatkan dengan baik maka sulit mendapatkan bonus kesejahteraan dari bonus demografi tersebut sehingga jangan sampai terjadi seperti anekdot yang menyatakan "growing old before growing rich".





 

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022