Selama 12 tahun penerapan otonomi daerah ada komunikasi tetapi tetap jalan sendiri-sendiri, tidak ada sinkronisasi kebijakan, tidak ada satu proses untuk solidifikasi, menyatukan pandangan tentang bagaimana menangani sesuatu,"
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menyebutkan tumpang tindih wewenang dalam penerapan otonomi daerah disebabkan oleh adanya pola komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah yang tidak diikuti sinkronisasi kebijakan.

"Selama 12 tahun penerapan otonomi daerah ada komunikasi tetapi tetap jalan sendiri-sendiri, tidak ada sinkronisasi kebijakan, tidak ada satu proses untuk solidifikasi, menyatukan pandangan tentang bagaimana menangani sesuatu," kata Ryaas saat ditemui di Jakarta, Kamis.

Menurut Ryaas hal tersebut juga memperlihatkan perbedaan pandangan antara pusat dengan daerah seolah dibiarkan dan hanya bisa diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Padahal, lanjut Ryaas, sebaiknya perbedaan pandangan diselesaikan dengan memanfaatkan fungsi dan tugas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) karena melibatkan hubungan langsung antara dua level pemerintahan.

"Disharmoni kebijkan selalu salurannya ke MK, padahal kalau Mendagrinya punya visi dan mau repot tidak perlu ke MK. Semua bisa selesai di kabinet," ujar dia.

"Yang digugat ke MK itu kan menteri-menteri, ini hubungan antara dua level pemerintahan, ada hubungan langsung mengapa harus ke MK," katanya menambahkan.

Sikap tersebut, menurut Ryaas justru memperlihatkan bahwa Mendagri dengan sukarela membiarkan kewenangannya dikebiri.

Terlepas dari itu, Ryaas juga menyarankan agar pemerintah daerah maupun kepala daerah lebih berhati-hati dalam menyuarakan perbedaan pandangan dengan pemerintah pusat.

"Ada kemarin unjuk rasa untuk penolakan kenaikan harga BBM yang tahun lalu, kepala-kepala daerah ikut demo itu bagaimana. Seolah-olah karena mereka dari partai tertentu lantas dia bisa bertindak mengatasnamakan partai," katanya.

"Kalaupun tidak setuju arahnya tidak terbuka kepada publik semacam ini. Silakan bawa ke Mendagri, kepala daerah bisa menyampaikan tidak setuju ini dan itu, sehingga isu-isu yang sensitif tidak perlu dibawa ke publik. Jangan sengaja mengesankan ada ketidakcocokan antara pusat dan daerah," ujarnya menambahkan.

Ryaas menyebut bahwa bagi sebagian orang, langkah perbedaan pandangan antara pusat dan daerah yang ditempuh melalui jalan terbuka di hadapan publik atau gugatan ke MK bisa dianggap baik.

Akan tetapi, pandangan-pandangan yang ia sebut sebagai model liberal bebas nilai ini masih dipertanyakan keabsahannya sebagai tujuan jalan panjang demokrasi di Indonesia.

"Apakah memang yang semacam itu yang ingin kita tuju, liberal bebas nilai?," ujarnya.

(G006/Z003)

Pewarta: Gilang G
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013