Jakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyurati Komisi I DPR RI terkait penunjukan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sebagai calon tunggal Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

"Kontras menyayangkan keputusan Presiden Joko Widodo yang menunjuk Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso sebagai calon tunggal Kepala Badan Intelijen Negara," kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Untuk itu, ujar dia, Kontras meminta Komisi I DPR RI sebagai mitra kerja pemerintah di bidang pertahanan dan luar negeri, untuk memeriksa dan menolak pencalonan tersebut.

Haris Azhar memaparkan, berdasarkan UU Intelijen, BIN dapat berperan mulai memberikan informasi ke Presiden untuk pengambilan kebijakan hingga memiliki kewenangan melakukan koordinasi intelijen dengan institusi lainnya.

"Jika kemudian BIN dipimpin oleh seseorang yang memiliki rekam jejak kontroversial dan patut diduga terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, maka dikhawatirkan kepemimpinannya akan dijadikan alat untuk meniadakan proses hukum, pengungkapan kebenaran dan pemulihan kondisi para korban," katanya.

Menurut Kontras, nama Sutiyoso terkait dengan sejumlah kasus yaitu penembakan lima jurnalis Australia yang dikenal dengan kasus "Balibo Five" (1975), Operasi Flamboyan dan Seroja di Timor Leste (1975), Operasi Militer Penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (1978), dan penyerangan kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli (1996).

Karena itu, Haris Azhar menegaskan tidak seharusnya seorang presiden mempercayakan suatu lembaga strategis, kepada seseorang yang berpotensi menghalangi tercapainya Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah terkait dengan penegakan hukum dan HAM.

Koordinator Kontras juga berpendapat, pengalaman serupa pernah terjadi di Indonesia, ketika masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dimana Hendropriyono ditunjuk menjadi Kepala BIN.

"Kontras mengingatkan dan mengetuk hati Komisi I DPR RI, untuk membuka diri dan memahami kebutuhan perbaikan negara dan bangsa Indonesia. Kita bisa melihat pengalaman dari sejumlah negara lainnya, yang juga mengalami transisi dari rezim otoritarian seperti Indonesia, guna membatasi para pelanggar HAM untuk menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan," katanya.

Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilakukan dengan menerapkan mekanisme yang terdiri atas penyaringan dan pencegahan, hingga memindahkan posisi pejabat publik yang diketahui memiliki rekam jejak HAM buruk, serta memurnikan institusi-institusi negara yang dianggap memiliki peranan strategis, termasuk sektor pertahanan dan keamanan.

Kontras mendesak agar Komisi I DPR RI berani menolak usulan Presiden Joko Widodo agar dalam pencalonan Sutiyoso sebagai Kepala BIN, antara lain dengan cara menjadikan kapasitas rekam jejak penghormatan terhadap hukum dan HAM calon sebagai pertimbangan utama dalam menunjuk penggantinya.

Sebelumnya, Kepala BIN Marciano Norman tidak meragukan kemampuan calon penggantinya, Sutiyoso, untuk menempati dan menjalankan tugas memimpin lembaga itu.

"Saya tidak sangsikan kemampuan beliau," kata Marciano Norman di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (23/6).

Marciano meyakini bahwa di bawah kepemimpinan Sutiyoso, BIN akan semakin maju dan berkembang.

Menurut dia, berbagai tantangan BIN ke depan antara lain adalah penyelenggaraan pilkada serentak, pemulihan ekonomi dan gerakan radikal.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015