Kuala Lumpur (ANTARA News) - Asosiasi pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menilai standar tunggal sawit berkelanjutan yang diinisiasi Indonesia dan Malaysia sulit dijalankan.

Wakil Presiden Dewan Gubernur RSPO Edi Suhardi, yang mewakili pekebun sawit di Indonesia, menilai harmonisasi hukum terkait sertifikasi standar minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia tidak akan mudah dilakukan.

"Standar bisnis industri itu mudah, tapi kalau bicara tentang menyinkronkan hukum, kan tidak bisa," katanya di sela Pertemuan RSPO ke-13 di Kuala Lumpur, Rabu.

"Contohnya, Indonesia mungkin bisa lebih transparan untuk serahkan peta elektronik. Tapi kalau Malaysia kan dilindungi undang-undang kerahasiaan," katanya.

Indonesia dan Malaysia sepakat membentuk Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) serta menyusun standar tunggal sawit berkelanjutan.

Kesepakatan itu merupakan tindak lanjut dari pertemuan di Bogor pada 11 Oktober lalu antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Najib Razak guna menghadapi hambatan di pasar sawit dunia, di mana kedua negara menguasai 85 persen di antaranya.

Kedua negara sedang membentuk satuan tugas untuk harmonisasi standar industri kedua negara. Upaya itu ditujukan untuk mensejahterakan para petani kelapa sawit kecil di Indonesia maupun Malaysia.

"Sertifikat regional ini bisa bekerja atau tidak, tergantung pemerintahnya," kata Edi.

Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015