Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Negeri Nunukan, Kalimantan Utara, belum mengeksekusi mantan Bupati Nunukan, Abdul Hafid Achmad padahal Mahkamah Agung menghukumnya dua tahun penjara dan denda Rp50 juta sejak 8 Juli 2014 terkait kasus pembebasan lahan.

"Kejari Nunukan sampai sekarang belum mengeksekusi mantan Bupati Nunukan," kata Ketua Jaringan Pembaharu (Jamper) Kalimantan Utara, Cahyadi, di Jakarta, Jumat.

Karena itu, pihaknya menuntut Kejaksaan untuk segera mengeksekusinya sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 65K/Pid.Sus/2014 tanggal 8 Juli 2014.

Ia menegaskan, jika yang bersangkutan masih berkeliaran bebas maka dikhawatirkan akan ada gejolak perlawanan dari masyarakat akibat ketidakpastian hukum.

Ia juga mendesak Ketua DPRD Nunukan untuk segera mengeluarkan SK penon-aktif-an Wakil Ketua DPRD Nunukan, Abdul Hafid Achmad sebagai anggota DPRD Nunukan dan sebagai Wakil Ketua DPRD Nunukan.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Amir Yanto belum bisa memberikan keterangan karena sampai berita ini diturunkan belum bisa dihubungi.

Pada 25 Juni 2012, Abdul Hafid Achmad, dijatuhi vonis dua tahun dan denda Rp50 juta subsider satu bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Samarinda.

Putusan dalam sidang pembacaan vonis kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu jauh lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yakni enam tahun dan denda Rp200 juta subsider enam bulan penjara.

Menyikapi vonis itu, Abdul Hafid Achmad yang menjabat Bupati Nunukan selama dua periode yakni mulai 2001-2011 itu langsung menyatakan banding, sedangkan JPU mengaku pikir-pikir atas putusan majelis Hakim Tipikor tersebut.

Majelis Hakim yang diketuai Casmaya dengan hakim anggota Poster Sitorus dan Rajali menilai, Abdul Hafid Achmad yang saat itu selaku ketua panitia pembebasan lahan untuk ruang terbuka hijau seluas 62 hektare di Sei Jepun, Kecamatan Nunukan Selatan yang mengakibatkan kerugian negara Rp7,06 miliar pada 2004 itu tidak terbukti melakukan tindak pidana melawan hukum sesuai dakwaan JPU.

Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda menilai terdakwa dianggap turut serta melakukan tindak pidana seperti yang diatur pada Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Hal yang dianggap memberatkan, terdakwa sebagai ketua panitia pembebasan lahan dinilai tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya serta tindakannya bertentangan dengan kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

(R021/J003)

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015