Kupang (ANTARA News) - Peneliti Institute for Ecosoc Right menyimpulkan, gizi buruk dan busung lapar yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berakar dari persoalan struktural, yakni kelemahan rumah tangga, komunitas dan kebijakan publik. "Gizi buruk dan busung lapar pada prinsipnya lahir dari beragam faktor, bukan hanya karena kemiskinan, sebab miskin tidak harus busung lapar, dan fenomena busung lapar di NTT berakar pada persoalan struktural," kata Ketua Institute for Ecosoc Right, Sri Palupi, di Kupang, Senin. Institute for Ecosoc Right merupakan lembaga riset dan pendidikan untuk hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkantor di Jakarta. Lembaga tersebut telah mengkaji masalah gizi buruk dan busung lapar yang sering mencuat di wilayah NTT. Riset tahap pertama di tahun 2006 berlangsung di empat kabupaten, yakni Sumba Barat, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kota Kupang. Riset itu berkaitan dengan berbagai hal yang menjadi penyebab kasus gizi buruk dan busung lapar yang terus dialami masyarakat NTT sepanjang tahun dan sistem penangulangan yang memungkinkan ditempuh pemerintah, khususnya di empat kabupaten sampel (contoh). Palupi mengatakan, penyebab busung lapar dari aspek rumah tangga, antara lain dipicu oleh kondisi ekonomi, asupan gizi pada anak yang tidak sesuai standar gizi dan tingkat pengetahuan, serta kesadaran orangtua yang rendah. Pada tingkat komunitas masyarakat, menurut dia, lebih disebabkan oleh pergeseran nilai-nilai adat dan praktek hidup yang selalu mengutamakan kebersamaan. "Pergeseran nilai itu dapat dilihat dari rendahnya kebutuhan berorganisasi dalam kehidupan bermasyarakat serta kecenderungan masyarakat untuk menghindari seseorang yang terkena gizi buruk dan busung lapar," ujarnya. Ia mengatakan, penyebab gizi buruk dan busung lapar pada level kebijakan publik merupakan aspek yang dianggap paling menarik, karena beragam bencana disikapi dengan politik bantuan sesuai karakter alam dan tipikal masyarakat NTT. Politik bantuan itu, dinilainya, justru melemahkan kapasitas komunitas dalam pengelolaan bencana, termasuk gizi buruk dan busung lapar, yang berujung pada sikap ketergantungan publik. "Ada juga pemahaman keliru yang menempatkan kasus gizi buruk dan busung lapar sebagai masalah kesehatan, sehingga model penanggulangannya cenderung bersifat kuratif, karitatif, emergensi dan bersifat jangka pendek, sehingga hasilnya pun tidak optimal," ujar Palupi. Peneliti Institute for Ecosoc Right, menurut dia, juga menyimpulkan bahwa upaya yang telah dilakukan lembaga non-pemerintahan baik skala internasional, nasional dan lokal dalam penanggulangan bencana yang tidak mengutamakan aspek koordinasi juga tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Bahkan, ia mengemukakan, timbul kesan persoalan yang sama pada lokasi yang sama ditangani lebih dari satu lembaga non-pemerintahan, sehingga dana yang dikucurkan relatif besar namun hasilnya tidak optimal dan hanya menciptakan ketergantungan pada bantuan. "Untuk mengatasi berbagai persoalan itu diperlukan pemahaman masalah yang substansial, perluasan partisipasi perempuan dalam proses pembangunan dan sistem penanggulangan terpadu dengan model pendekatan jangka panjang," demikian Palupi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007