Jakarta (ANTARA News) - Beberapa malam jelang fenomena gerhana matahari total (GMT), Pantai Tanjung Pendam di Tanjung Pandan, Belitung semarak dengan pertunjukan kesenian daerah asli Provinsi Bangka Belitung, Dambus.

Pertunjukan kesenian Dambus terdiri dari seorang penyanyi dan pemetik gitar Dambus yang menyanyikan lagu-lagu khas Melayu yang berpantun atau shalawat. Pemain Dambus biasa diiringi dengan pemain alat musik lain seperti beberapa pemain gendang dan tawak-tawak.

Tawak-tawak dalam kesenian Dambus adalah instrumen musik yang bunyinya mirip kentongan di Pulau Jawa, namun dibuat sedemikian rupa dengan bantok kelapa yang disusun dengan batang kayu dan dimainkan dengan cara ditabuh.

Berbeda dengan pertunjukan seni di kota-kota besar seperti di Jakarta yang hanya mengundang minat orang-orang tua. Di Belitung, kesenian Dambus mampu menyerap perhatian anak-anak muda setempat. Meski tak banyak, beberapa mengerumuni panggung pentas yang memang disediakan Pemerintah Kabupaten Belitung. Dilatarbelakangi suara lembut desiran ombak pantai, Zahroti (60), si pemain Dambus, melantunkan bait-bait syair Dambus dengan suara tinggi falsettonya.

Di hadapannya, dua orang penari dengan gemulai menari Dincak Dambus, mengundang para penonton untuk turut naik ke panggung melangkahkan kaki sesuai irama Dambus Zahrotti. Dincak Dambus memiliki gerakan yang berasal dari pencak silat. Meski akhirnya menari berpasang-pasangan, semua gerakan dilakukan dalam batas kewajaran dan adat kesopanan Bangka Belitung.

Sejarah

Awalnya, kesenian Dambus muncul dari perpaduan kesenian Timur Tengah dan Bangka. "Jaman dahulu, ada sebuah kampong yang cuma punya lima KK, mereka lihat orang Arab main Gambus, awalnya cuma di Kampong Mendo Barat, Bangka Induk, nah mereka ikutin bikin seperti Gambus Arab," kata Zahroti saat ditemui di Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan, Belitung pada Kamis (10/3).

Awal pembuatan Dambus, masyarakat Bangka senang menancapkan kepala rusa atau pelanduk (kancil) hasil tangkapan dari berburu pada pucuk kepala Dambus.

"Biar berbeda, mereka tancapkan kepala rusa atau pelanduk, nah tapi kan lama-lama bau busuk. Maka sekarang diganti pahatan menyerupai kepala rusa macam begini," kata Zahroti menunjuk kepala Dambusnya yang menyerupai kepala rusa lengkap dengan mata dan moncong hidung.

Lagu-lagu awal yang dimainkan dalam kesenian Dambus adalah Abu Samah, Aliong, dan lain-lain. Semua diberi judul sesuai nama orang yang memainkan Dambus jaman dulu. Para pemain Dambus jaman dulu, kata Zahroti, mengenakan jubah dan dimainkan seusai shalat Subuh.

"Dulu ceritanya, di Bangka banyak kerajaan-kerajaan, lalu ada anak salah satu raja sakit. Lalu bikinlah sayembara, siapa yang bisa mengobati, kalau perempuan akan dijadikan permaisuri, kalau laki-laki akan dijadikan mantu. Lalu ada yang maju dan memetik Dambus lalu anak raja itu sehat. Dulu main Dambus itu bertuah," kata Zahroti.


Maestro Dambus


Zahroti sudah memainkan alat musik Dambus sejak usia 14 tahun. Dulu, memainkan Dambus digunakan sebagai sarana mencairkan pergaulan muda-mudi Bangka, Pulau kelahiran Zahrotti.

"Dari 14 tahu aku sudah main (Dambus), tapi belum bisa bikin alat musiknya. Lagu pertamaku judulnya Altu, karena mudah. kita ini memang ada darah seni, kakek moyangku pemain gambus, termasuk hadra dan kitab berjanji," kata pria berambut ikal itu.

Belajar memainkan Dambus, bagi Zahroti adalah perkara kecil.

"Dulu aku lihat saja kakek saya main, saya. Lihat langsung bisa, tidak usah belajar. Kakek dulu juga pengrajin, dia ahli buat bubu. Sekarang, maaf pada Alloh, saya juara provinsi, 3 tahun berturut-turut, saya jadi pemetik dan vokal Dambus terbaik," katanya.

Penyanyi Dambus, kata Zahroti, harus pandai-pandai berpantun. "Yang membuat aku jatuh hati pada nyanyi Dambus, karena ini bisa dipakai dakwah, bisa juga berkisah cinta, nyindir orang pun bisa. Menciptakan lagu spontan juga bisa dari apa yang kita lihat," katanya.

Alat musik yang digunakan Zahroti sudah mengalami modifikasi, Dambus miliknya berbeda dengan gambus asal Palembang atau Betawi, bahkan juga berbeda dari Dambus tradisional Bangka Belitung.

"Dambus punya ciri khas, senarnya ada tiga; kuin, gundah dan bem. dambus juga alatnya lebih kecil dibanding gambus. Biasanya dibikin dari kayu sambung," kata Zahroti sembari menyapu alat musik dalam pelukannya.

Alat musik dambus Zahroti sudah mengalami modifikasi untuk kepentingan penampilan. Dambus Zahroti dibuat empat senar; kuin, gundah, bem dan bas. Dia menambahkan satu senar dari Dambus tradisional supaya bisa menghasilkan nada pentatonis, alih-alih diatonis.

"Itu supaya aku bisa memainkan lagu-lagu lain selain syair Dambus. Kita main dalam acara bisa tiga jam, kalau cuma nyanyi syair Dambus, kita bisa kehabisan modal. Maka kita bantai pakai lagu dangdut," kata Zahroti yang biasa main saat acara perkawinan, syukuran, khitanan, Maulid Nabi, momen tiga hari setelah Lebaran, menyambut tamu pemerintahan, dan pentas seni.

Satu lagu Dambus biasanya berdurasi sekitar tujuh menitan berisi lima pantun, biasanya pantun nasihat yang merupakan petuah-petuah dan wejangan hidup.

"Main Dambus ini gampang, asal tahu lirik vokal, lagu apa saja bisa dimainkan," ucap Zahroti yang kemudian mendemonstrasikan lagu Rhoma Irama-Berkelana.

Grup Dambus Zahroti bernama Tanjung Bunga, dinamakan sesuai dengan nama tempat tinggal Zahroti di dekat Pantai Pasir Padi di Pangkalpinang, Pulau Bangka.

Dia memiliki bengkel pembuatan alat musik Dambus sekaligus sanggar tempat anak-anak berlatih main.

Alat musik Dambus dibuat Zahroti dari kayu Jelutung yang juga biasa digunakan masyarakat Bangka Belitung untuk membuat papan rumah.

"Idealnya kayu Nangka ya, tapi batang Nangka kini susah didapat dan lagi kalau bikin dari kayu Jelutung bisa dapat dua, kalau kayu Nangka dapat satu," katanya.

Satu instrumen, dibuat dalam waktu satu minggu paling cepat. Karena teknik pembuatan yang cukup rumit, yakni tanpa sambungan, satu instrumen sepanjang satu meter berat tiga kilo gram itu dibanderol seharga Rp3.000.000. Produksi Zahroti sudah dijual hingga manca negara meski bukan kategori ekspor karena biasanya pembeli adalah wisatawan yang datang ke Bangka dan membeli setelah melihat kepiawaiannya main Dambus.


Dukungan Pemerintah

Pemerintah Provinsi Bangka Belitung mendorong kesenian Dambus untuk terus berkembang. Kepala Dinas Pariwisata Bangka Belitung, Tajuddin mengatakan, kesenian Dambus sudah masuk ke dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, sehingga sudah pasti kesenian tersebut wajib dilestarikan.

Pembinaan yang dilakukan, kata Tajuddin di antaranya adalah memberikan ruang bagi kesenian Dambus untuk terus bernafas.

"Kita rutin mengadakan pagelaran seni tradisi setiap tahun, salah satunya menampilkan seni perlombaan Dambus se-provinsi," kata Tajuddin pada ANTARA.

Selain itu, di sekolah-sekolah, mulai jenjang SMP, para siswa diberikan pelajaran muatan lokal kesenian Dambus. "Kami juga menyalurkan  instrumen Dambus ke sanggar-sanggar, sekarang ada sekitar 70-an sanggar yang aktif di tujuh kabupaten kota."

Tajuddin mengatakan, kesenian Dambus memang sudah ada di setiap kabupaten kota baik di Bangka maupun di Belitung.

"Baru-baru ini kita ada konser Dambus memecahkan rekor MURI tahun 2015, di sana ada 15 maestro dambus main. Diharapkan, itu bisa menjadi jalan supaya kesenian Dambus akan terus lestari baik inisiatif sendiri di sanggar."

Tajuddin bercita-cita, ingin menjadikan kesenian Dambus sebagai salah satu komoditas pariwisata Bangka Belitung di mana, para wisatawan tak hanya pasif menonton pertunjukan, tapi juga bisa turut interaktif memainkan alat musik tersebut.

"Seperti angklung di Jawa Barat. Saya inginnya nanti wisatawan itu juga ikut main. Saat ini saya sedang ngobrol dengan para pelaku kesenian Dambus, mungkin enggak mereka membuat wisatawan bisa main juga. Mereka sedang upayakan itu. Jadi nanti betul-betul interaktif, kalau demikian, wisatawan akan semakin tertarik dan akan menonton Dambus di kabupaten kota, keunikan Dambus bisa bertambah selain menari bersama penarinya. Itu bisa jadi unggulan daerah kita," kata Tajuddin.


Sempat Krisis

Kesenian Dambus, Zahroti menuturkan, sempat mengalamin krisis. Para seniman tak lagi memetik dawai-dawai Dambus.

"Dulu Dambus masih sulit. Orang tak main Dambus dan lebih memilih nambang, anak-anak muda tak tahu Dambus. Tapi sekarang sudah lumayan, termasuk Belitung sudah mulai ada sekolah-sekolah yang mulai mengajarkan Dambus seiring perkembangan pariwisata orang-orang juga mulai mau mebeli Dambus," kata Zahroti.

Mulai tahun 2000, Zahroti yang semula hanya menyanyi mulai membuat Dambus karena banyaknya permintaan.

"Aku juga bersedia ngajar kalo dibutuhkan. Kampus-kampus mulai datang ke rumah saya untuk penelitian sejak itu. Tahun 2005, saya ditawari untuk dikontrak China untuk mengajar di universitas China, tapi aku milih di sini untuk lestarikan Dambus di sini karena kalau endak dikembangkan nanti punah," katanya.

Kini, menurut Zahroti, anak sekitar kampungnya berebut untuk ikut belajar Dambus di sanggarnya.

"Karena kalau main Dambus mereka tahu menghasilkan uang. Sekali main itu upahnya Rp1.500.000, tiap anak dibagi dapat Rp100.000, sekarang frekeunsi mainnya kan sering jadi lumayan lah tu," kata Zahroti.

Di tengah kepungan hegemoni alat musik modern dan kesenian asing, di sudut-sudut Pulau Bangka dan Belitung, para remaja masih asik menekuri alat musik tradisional asli daerah.

Di antara mereka adalah Hafidz Yusparabi (15) dan Muhamad Iftikar Maureza atau akrab disapa Reza (15). Hafidz memainkan tawak-tawak, dan Reza memainkan gendang.

"Saya sebenarnya suka musik Korea, suka gitaris asal Korea Selatan, Sungha Jung, tapi saya senang ikut gabung grup Dambus karena asik. Memang kalau cuma nonton sih membosankan, tapi begitu pegang instrumen, naik panggung, itu seru," kata Hafidz.

Sementara Reza mengatakan dirinya bergabung dengan grup Dambus di sekolahnya di SMA Negeri 1 Tanjung Pandan karena memang suka musik dan menanti kesempatan untuk diajak pergi pentas keluar Belitung.

"Kalau ikut grup ini sering pentas di luar Belitung, itu saya suka. Bisa melihat kota-kota selain Tanjung Pandan," kata Reza penggemar drummer The Rev, Owen Sullivan asal California Amerika Serikat.

Sementara Basri, guru pembimbing dari SMA Negeri 1 Tanjung Pandan mengatakan, ekstra kurikuler Dambus baru resmi diajarkan sekitar setengah tahun lalu.

"Persoalannya, saat ini, seni tradisi itu kurang kegiatan, kalau banyak kegiatan, anak-anak ini pasti semangat main. Kami berharap supaya pemerintah lebih giat menggelar acara-acara sebagai panggung dari seni tradisi ini," demikian Basri.

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016