Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menegaskan pemerintah tidak akan mengirim sampel virus flu burung (Avian Influenza/AI) ke luar negeri tanpa adanya perjanjian transfer material (Material Transfer Agreement/MTA). "Kalau tidak ada MTA ya jangan keluar. Atau kalau mau, dibikin saja 'collaborating center' dan pabrik vaksinnya di sini," kata Menteri Kesehatan di Jakarta, Senin, di sela pertemuan tingkat tinggi WHO tentang praktek pembagian virus AI. Ia menjelaskan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia mengharuskan penyertaan MTA dalam setiap pengiriman sampel penelitian ke luar negeri dan pemerintah akan berjuang supaya ketentuan itu mendapat pengakuan dari komunitas global. Siti Fadilah berharap pertemuan teknis WHO kali ini dapat menghasilkan solusi terbaik mengenai pembagian sampel virus flu burung. Solusi itu, menurut dia, harus dapat menjamin semua negara berkembang yang menjadi daerah jangkitan penyakit memiliki kesetaraan akses terhadap vaksin yang berkualitas dan terjangkau. Berkenaan dengan hal itu, Asisten Direktur Jendral WHO Jenewa Dr. David Heymann mengatakan MTA bukanlah satu-satunya alternatif metode pengiriman sampel virus. Mekanisme pengiriman sampel virus dengan MTA, kata dia, justru dapat menghambat proses penilaian risiko infeksi virus dan pengembangan vaksin. Namun, kata dia, keuntungan dan kerugian implementasi perjanjian transfer material dan opsi mekanisme pembagian virus flu burung lain serta solusi jangka panjang terkait penyediaan vaksin yang terjangkau untuk semua masih akan didiskusikan dalam pertemuan tersebut. "Dalam hal ini yang kami minta adalah mereka mau berbagi virus, sehingga penilaian risiko bisa dilakukan, vaksin bisa dikembangkan dan ada mekanisme yang memungkinkan mereka semua untuk mengaksesnya," kata David. Pertemuan teknis tingkat tinggi WHO tentang praktek pembangian sampel virus yang diselenggarakan di Jakarta pada 26-27 Maret 2007 dihadiri oleh pejabat perwakilan laboratorium kolaborasi WHO dan perwakilan dari 16 negara di dunia, yakni Australia, Azerbaijan, Belgia, Brunei, Kanada, China, Mesir, Indonesia, Jepang, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Turki dan Amerika. Pertemuan itu dilakukan setelah Indonesia mengusulkan dilakukannya perubahan terhadap ketentuan WHO tentang pembagian sampel virus. Menurut Menteri Kesehatan, usulan itu diajukan karena ketentuan yang ada dinilai merugikan negara-negara berkembang yang warganya terjangkit penyakit. Menurut ketentuan WHO yang ada saat ini setiap negara jangkitan diwajibkan mengirimkan sampel virus ke laboratorium kolaborasi WHO dan semua pihak bisa mendapatkan spesimen itu untuk berbagai keperluan, termasuk untuk produksi vaksin komersial. Padahal sarana produksi dan teknologi pembuatan vaksin sebagian besar dimiliki oleh industri-industri farmasi besar di negara maju. "Sistem itu menyebabkan negara-negara berkembang berpotensi mengalami kerugian terkait harga, akses dan pasokan. Karena itu, ketentuan dalam sistem itu harus diubah, dimodifikasi," demikian Menteri Kesehatan. (*)

Copyright © ANTARA 2007