Jakarta (ANTARA News) - Pengakuan kewarganegaraan ganda (dwi kewarganegaraan) secara terbatas, sesuai perkembangan global menjadi sesuatu yang bisa dipertimbangkan oleh Indonesia, kata Guru Besar Perbandingan Politik Unair Kacung Marijan.

"Terbatas, maknanya adalah hanya warga negara Indonesia di negara-negara tertentu dan berprofesi tertentu," kata Kacung usai menjadi pembicara diskusi mengenai masalah Dwi Kewarganegaraan di Jakarta, Kamis, yang diselenggarakan oleh Institut Kewarganegaraan Indonesia.

Kacung mengemukakan semakin banyaknya WNI yang menjadi warga global telah menjadikan tuntutan pengakuan kewarganegaraan ganda semakin kuat.

Di sisi lain, perdebatan mengenai kewarganegaraan ganda terkait dengan faktor pertahanan dan keamanan.

"Tentu risiko mengenai kejahatan internasional, perdagangan manusia, narkoba. Jadi memang tidak boleh sembarangan soal memberi kewarganegaraan ganda ini," kata Kacung.

Dia juga mengemukakan mengenai negara-negara yang masih dirasakan sensitif jika menyangkut kewarganegaraan ganda WNI, misalnya China dan Arab.

"Mungkin sebaiknya dimulai dari diaspora tertentu, yang punya prestasi, bisa membagikan ilmu pengetahuannya di Indonesia," katanya.

Tuntutan pengakuan kewarganegaraan ganda menurut Kacung antara lain datang dari WNI yang menikah dengan WNA.

"Dia tidak ingin dirinya maupun anaknya kehilangan status WNI," kata Mantan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.

Selain itu, tuntutan juga datang dari WNI yang bermukim atau bekerja cukup lama di negara-negara lain. Mereka ingin jadi warga di tempat bermukim namun juga ingin tetap menjadi WNI.

"Harus ada naskah akademik mengenai hal ini. Pemerintah harus memutuskan berdasarkan naskah akademik," kata Kacung.

Indonesia adalah negara  yang tidak mengakui status kewarganegaraan ganda atas warganya, sesuai yang tercantum dalam UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Pewarta: Aditia Maruli Radja
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016