Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutuskan menerima dan tidak akan mengajukan banding terhadap putusan perkara mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti, yang divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap terkait pengurusan anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

"Pimpinan (KPK menyatakan) kita tidak banding," kata ketua jaksa penuntut umum KPK dalam perkara Damayanti, Ronald F Worotikan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin.

Pada 26 September 2016 majelis hakim menyatakan Damayanti terbukti menerima suap 278.700 ribu dolar Singapura dan Rp1 miliar sebagai komisi pengurusan program aspirasi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan dijatuhi vonis hukuman 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Ketika itu baik Damayanti maupun jaksa KPK menyatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari.

Putusan hukuman terhadap Damayanti lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang meminta hakim menjatuhi dia hukuman penjara selama enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik.

"Alasannya, kalau dilihat dari pertimbangan kita sudah banyak masuk ke putusan, itu pertimbangan pertama. Kedua, hukuman pidananya juga sudah dua pertiga, kemudian dendanya juga sudah sesuai jadi itu pertimbangannya," kata jaksa Ronald.

Majelis hakim yang terdiri atas Sumpeno, Mas'ud, Baslin Sinaga, Titik dan Sigit Herman Binaji juga tidak memenuhi tuntutan jaksa KPK agar hak Damayanti untuk menduduki jabatan publik dicabut selama lima tahun sejak Damayanti selesai menjalani pidana pidana pokoknya.

"Memang tadinya kita mempertimbangkan putusan hakim yang tidak masuk yaitu mengenai pencabutan hak politik ini memang sudah didiskusikan dengan pimpinan kita akan melakukan upaya hukum apa tapi memang kesepakatannya untuk masalah hak politik kami tidak mengajukan banding karena ini terkait juga posisi Damayanti sebagai justice collaborator," ungkap jaksa Ronald.

Damayanti mendapat status justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan perkara berdasarkan surat keputusan Pimpinan KPK No.Kep-911/01-55/08/2016 tanggal 19 Agustus 2016.

Menurut Ronald, KPK juga masih terus mengembangkan penyelidikan kasus ini.

"Sejauh ini yang sudah ditetapkan sebagai tersangka karena pengembangan itu kan ada Andi Taufan Tiro, ada Amran Hi Mustary dan juga Budi Supriyanto, Bu Damayanti juga sudah bersaksi mengenai tapi ini juga tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak lain. Nanti penyelidik, penyidik akan berkoordinasi tapi untuk sementara yang sudah dinaikkan ke penyidikan baru itu tadi," jelas Ronald.

Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir memberikan uang suap kepada Damayanti agar dia mengusulkan kegiatan pelebaran Jalan Tehoru-Laimu dan menggerakkan rekannya, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto, agar mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu di wilayah Balai Pelaksana Jalan Nasional IX (BPJN IX) Maluku dan Maluku Utara sebagai usulan "program aspirasi" anggota Komisi V DPR sehingga masuk ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian PUPR 2016 dan nantinya dikerjakan oleh PT Windhu Tunggal Utama.

Dalam perkara ini masih ada tiga tersangka yang belum menjalani persidangan meski sudah ditahan yaitu anggota Komisi V dari fraksi PAN Andi Taufan Tiro, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Kementerian PUPR Amran Hi Mustary, dan anggota Komisi V dari Golkar Budi Supriyanto

Tiga orang lainnya sudah dijatuhi vonis hukuman. Rekan Damayanti, Dessy Ariyati Edwin dan Julia Prasetyarini alias Uwi, sudah divonis masing-masing empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan sementara Abdul Khoir sudah divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016