Jakarta (ANTARA News) - Kondisi cuaca di Tanah Air kembali mengalami penyimpangan atau anomali dari kondisi normal. Anomali tersebut mengakibatkan perubahan pola hujan dan musim yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam kondisi normal, pola musim di Tanah Air, yakni Mei sampai September masuk musim kering atau kemarau dan Oktober sampai April merupakan musim hujan.

Tetapi setidaknya dalam tiga tahun terakhir, pola tersebut tampaknya sudah berubah tak menentu. Saat periode musim kemarau, malah turun hujan beberapa kali. Sebaliknya, saat periode musim hujan, malah datang kemarau berkepanjangan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mencatat fenomena ini juga bisa dirasakan sejak beberapa bulan terakhir. Jika merujuk pada periode normal, di wilayah Indonesia pada bulan September sudah masuk musim kemarau, tetapi ternyata hujan masih terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca BMKG Kukuh Ribudiyanto mengungkapkan saat ini wilayah Indonesia yang mengalami kering, yakni sekitar 43 persen, sisanya 57 persen wilayah Indonesia dalam kondisi basah.

Dengan kondisi seperti itu, berarti Indonesia saat ini didominasi musim hujan meskipun sudah masuk musim kemarau.

Ada beberapa wilayah di Indonesia yang berpotensi mulai kering, yakni di wilayah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab anomali cuaca. Pertama, ada kemungkinan karena fenomena La Nina, atau El Nino. Tetapi, kemungkinan dampak fenomena itu masuk kategori lemah, karena dampaknya tidak merata di wilayah Indonesia.

El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar ekuator, khususnya di bagian tengah dan timur.

Kemungkinan kedua adalah perbedaan suhu permukaan laut di Samudera Hindia sebelah barat Indonesia, dengan suhu permukaan laut di Samudera Hindia sebelah timur Afrika.

Kukuh mengatakan, area Samudera Hindia sebelah barat ini lebih hangat, sehingga indeksnya negatif. Artinya, ada pasokan air dari Samudera Hindia sebelah barat menuju ke timur Indonesia bagian barat.

Sedangkan kemungkinan penyebab ketiga, yaitu angin muson timur, atau muson Australia yang membawa uap kering. Muson merupakan angin musiman yang bersifat periodik dan biasanya terjadi, terutama di Samudera Hindia dan sebelah selatan Asia. Tapi untuk periode saat ini, dalam kondisi lemah, sehingga tidak menjadikan wilayah Indonesia kering.

Selain tiga kemungkinan penyebab anomali tersebut, ada hal penting lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu suhu muka laut wilayah Indonesia yang selalu hangat. Kondisi yang hangat itu, karenanya proses penguapan mudah terjadi dan akhirnya awan-awan hujan mudah terbentuk.

BMKG mencatat dalam tiga tahun terakhir telah terjadi anomali. Pada 2015, terjadi anomali curah hujan yang menurun, dampaknya terjadi kemarau panjang dan munculnya kasus kebakaran hutan di berbagai wilayah.

Tahun 2015, anomali terjadi karena munculnya El Nino. Sementara pada tahun 2016 sebaliknya, akan banyak hujan atau La Nina.

Terjadinya perubahan cuaca yang tidak menentu ini membuat masyarakat di seluruh wilayah Indonesia harus mewaspadai dampak susulan dari gejala alam tersebut, seperti banjir, longsor, angin puting beliung dan lain-lain.

Dalam menghadapi anomali cuaca tersebut, BNPB memerintahkan semua BPBD yang memiliki potensi hujan lebat agar meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya bencana alam.

"Masyarakat agar selalu diberikan informasi ancaman bencana. Sosialisasi ditingkatkan kepada masyarakat. BPBD agar mengkoordinir potensi daerah supaya siap menghadapi segala kemungkinan terburuk," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.

Sebanyak 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi atau bencana yang terjadi karena pengaruh cuaca, iklim, dan perubahan iklim.

Pada 2015 telah terjadi 1.681 bencana hidrometeorologi di Indonesia. Sedangkan tren bencana longsor, banjir, dan puting beliung meningkat.

"Longsor adalah salah satu bencana hidrometeorologi dan faktor dominan penyebabnya adalah ulah manusia," kata Sutopo.

Menurut catatan BNPB, peningkatan tren longsor ini berhubungan erat dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di lereng-lereng perbukitan yang rawan longsor.

Berdasarkan data dari BNPB hingga Agustus 2016 tercatat telah terjadi sebanyak 1.512 kejadian bencana alam antara lain berupa banjir, tanah longsor, gempa bumi, kebakaran hutan dan lahan, letusan gunung berapi serta angin puting beliung.

Dari jumlah kejadian itu, sebanyak 322 orang meninggal dunia, 2.086.769 orang mengungsi, dan sebanyak 21.537 tempat tinggal mengalami kerusakan.


Banjir Garut

Pada Selasa malam, 20 September 2016, kabar duka pun datang dari Kabupaten Garut, Jawa Barat. Banjir bandang yang terjadi akibat meluapnya sungai Cimanuk telah mengakibatkan 57 rumah hanyut dan 633 rumah lainnya terendam banjir.

Korban tewas tercatat sebanyak 34 orang, puluhan oang luka-luka, dan 19 korban lain masih dinyatakan hilang. Sebanyak 2.525 orang harus mengungsi ke posko-posko pengungsian.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar menyatakan banjir yang menerjang tujuh kecamatan di Garut merupakan banjir bandang terbesar dan terparah dalam catatan mereka.

Kabupaten Garut memang dikenal sebagai daerah langganan banjir, namun baru tahun 2016 banjir bandang yang terparah.

Duka di Garut sontak menyentuh hati para dermawan, relawan, donator dan pemerintah untuk membantu meringankan penderitaan para korban.

Sejumlah pejabat di pusat dan daerah langsung menunjukkan rasa empatinya dengan mengunjungi lokasi banjir bandang Garut untuk memberikan berbagai bantuan yang diperlukan, tak terkecuali Presiden Joko Widodo.

Presiden Jokowi yang didampingi sejumlah menteri meninjau lokasi terdampak banjir di bantaran Sungai Cimanuk, Lapangan Paris, dan Rumah Sakit Umum Daerah dr Slamet, Garut.

Usai kunjungan tersebut, Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar segera melakukan penegakan hukum untuk menghentikan perambahan hutan, karena tanpa keseriusan penegakan hukum, hutan akan semakin rusak dan memicu bencana alam seperti di Garut.

Penanganan banjir bandang Garut dimulai dengan tanggap darurat tahap pertama mulai 21 hingga 27 September 2016 dan tanggap darurat tahap kedua, mulai 28 September hingga 3 Oktober 2016. Jika tidak diperpanjang, maka tahap pemulihan bisa langsung dimulai pada 4 Oktober 2016.

Sekretaris Daerah Kabupaten Garut Iman Alirahman menyatakan untuk tanggap darurat pihaknya menyediakan dana Rp500 juta guna membiayai pencarian korban dan penyelamatan pengungsi.

Pada masa pemulihan, sambil menunggu rumah susun sewa bagi pengungsi, Pemkab Garut wajib memberi jaminan hidup Rp10.000 per orang per hari selama enam bulan. Dengan jumlah pengungsi 2.525 orang, maka dibutuhkan sebesar Rp25,25 juta per hari atau sekitar Rp4,5 miliar selama enam bulan.

Dahsyatnya dampak bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, maupun kebakaran hutan dan lahan tentu membuat semua pihak harus mewaspadai kemungkinan hal tersebut terjadi.

Penyimpangan atau anomali cuaca kemungkinan masih terus terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah terus mengimbau masyarakat agar tetap waspada karena potensi banjir dan tanah longsor bisa terjadi di mana pun dan kapan pun, terlebih jika hujan deras terjadi lagi.

(A041/T007)

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016