Tanjungpinang, 1/11 (Antara) - Orang bilang bila kita ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (Kepri), belumlah lengkap kalau belum bertandang ke Pulau Penyengat yang sama sekali tidak menyengat.

Namun justeru memberi rasa tenang, nyaman dan suka cita karena keindahan alamnya, keramahtamahan penduduknya yang hidup di lingkungan yang tertata apik, dan situs-situs bernilai sejarahnya.

Saat ini pelancong sudah tidak lagi menemui lebah yang menyengat dan dapat menikmati perjalanan wisata mereka dengan udara yang segar sembari mengunjungi situs-situs bersejarah di pulau yang sedang diusulkan kepada UNESCO (Badan PBB Untuk Pendidikan dan Kebudayaan) untuk menjadi situs warisan dunia.

Konon, kata penyengat muncul saat para pelaut beberapa abad lalu datang ke pulau yang luasnya hanya sekitar 3,5 kilometer persegi itu untuk mengambil air tawar yang dapat diminum, namun di tengah perjalanan mereka disengat oleh lebah, dan sejak saat itulah pulau mungil itu dikenal dengan nama Pulau Penyengat.

Air tawar itu hingga saat ini masih dapat dinikmati oleh masyarakat dari beberapa sumur yang ada di pulau yang berpenduduk tidak lebih dari 3.000 jiwa. Salah satu di antaranya adalah yang berada di bawah gedung Balai Adat Pulau Penyengat yang berfungsi sebagai tempat untuk menyambut tamu atau mengadakan perjamuan bagi orang-orang penting,

Menurut seorang penjaga perigi tua itu, Anwar, biasanya wisatawan yang lelah setelah mengunjungi beberapa situs sejarah di pulau yang berstatus kelurahan tersebut, singgah di sumur tua yang airnya tawar, jernih dan langsung bisa diminum agar mereka bisa segar kembali.

"Sumur yang memiliki kedalaman sekitar 2,5 meter ini tidak pernah kering sepanjang tahun walaupun di musim kemarau. Paling-paling hanya berkurang sedikit tapi tak pernah habis walau penduduk setempat terus mengambil airnya untuk berbagai keperluan," kata Anwar.

Anwar yang menjaga kebersihan sumur sejak 12 tahun lalu itu menjelaskan, air sumur yang ditemukan sejak abad ke-16 tersebut tidak terasa asin seperti kebanyakan sumber air yang berada dekat dengan laut walaupun sumur itu terletak hanya sekitar 30 meter dari pantai.

Pong-pong
Wisatawan dapat naik perahu pong-pong selama kurang lebih 15 menit dari pelabuhan Sri Bintan Pura,Tanjung Pinang, dengan harga tiket sekitar Rp15.000 per orang, menuju pulau yang pernah menjadi pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam dan kebudayaan Melayu pada abad ke-19.

Betul apa yang dikatakan oleh Gubernur Kepri, Nurdin Basirun, bahwa masyarakat Tanjung Pinang termasuk mereka yang tinggal di Pulau Penyengat adalah masyarakat yang santun, ramah, lembut dan penuh kebersamaan.

"Tanjung Pinang adalah kota yang indah dengan makanan tradisional yang khas serta pesona alamnya sebagai lambaian masyarakat Kepulauan Riau," kata gubernur saat menyampaikan pidatonya pada acara pembukaan Festival Bahari Kepri 2016 di Tanjung Pinang, Sabtu 29 Oktober.

Suasana seperti itu membuat siapa pun yang berkunjung ke Pulau Penyengat terasa nyaman dan aman. terlebih lagi saat pengunjung mulai menjejakan kaki di pulau tersebut, masjid berwarna kuning yang megah, yaitu Masjid Raya Sultan Riau seolah-olah menyambut kedatangan mereka.

Di antara pengunjung yang menikmati suasana seperti itu adalah tiga wartawan dari media Vietnam, China dan Jepang yang sedang melakukan tugas jurnalistiknya untuk melihat dari dekat suasana sosial, objek wisata serta mencicipi makanan khas Tanjung Pinang di pulau tersebut seperti ikan lebam bakar dan gonggong (sejenis kerang yang saat ini dijadikan ikon kota Tanjung Pinang).

Kepada seorang pengusaha dari sebuah perusahaan perjalanan swasta di Tanjung Pinang, Sapril Sembiring, yang mendampingi ketiga wartawan media asing tersebut, mereka meminta Sapril untuk mengantar berkeliling Pulau Penyengat yang juga disebut Pulau Mas Kawin karena pulau tersebut merupakan mahar dari Sultan Mahmud yang membangun Pulau Penyengat menjadi sebuah negeri yang diberikan kepada Engku Putri atau Raja Hamidah putri Raja Haji yang terkenal dalam sejarah Riau-Lingga, Johor dan Pahang.

Dengan menyewa becak motor selama satu jam dengan tarif Rp 30.000 per satu perjalanan mengelilingi pulau, Sapril mengajak ketiga wartawan mengunjungi situs-situs bersejarah di Pulau Penyengat yang juga dikenal sebagai Pulau Air Tawar karena di sana terdapat sumur air tawar.

Kepada Sapril jurnalis asing tersebut menyatakan kekagumannya akan keramahtamahan masyarakat setempat dan tertarik kepada benda-benda peninggalan sejarah Pulau Penyengat, khususnya sumur air tawar.

"Silakan buktikan sendiri bagaimana rasa air dari sumur tua itu. Kalian bisa membasuh muka atau meminumnya," kata Sapril yang terlibat dalam kepanitiaan Festival Bahari Kepri 2017 sebagai penanggung kepesertaan perahu layar asing dari beberapa negara antara lain Australia, Singapura, Amerika Serikat, Swiss, Inggeris, Perancis, Belanda, Norwegia dan Malaysia.

"Ya, airnya jernih dan segar sekali," kata wartawan kantor berita Xinhua (China), Du Yu setelah membasuh muka dan meminum air dari sumur tua itu.

Para wartawan asing tersebut mengakhiri wisata jurnalistiknya di Masjid Raya Sultan Riau, setelah mengunjungi beberapa situs bersejarah termasuk makam pengarang Gurindam Dua Belas, Raja Ali Haji, yang juga pujangga terkenal dari Riau yang menyusun kaedah tata bahasa, ejaan dan perkamusan, serta menjadikan bahasa Melayu Riau layak dipakai sebagai bahasa surat-menyurat, bahasa buku dan bahasa kesusastraan.

"Warna kuning keemasan pada masjid tersebut memberi arti keagungan atau kemegahan," kata Sapril seraya menambahkan bahwa Masjid Sultan Riau yang dibangun oleh Sultan Mahmud pada 1803 itu dikenal juga dengan nama Masjid Putih Telur karena saat pembangunannya menggunakan putih telur yang dicampur dengan tanah sebagai bahan perekat.

Selama di Tanjung Pinang, wartawan mancanegara tersebut juga sempat menyantap gonggong yaitu sejenis kerang khas Tanjung Pinang, yang tidak ditemukan di tempat lain.

Kekhasan itu, membuat gonggong' menjadi ikon Tanjung Pinang yang ditetapkan sebagai pintu gerbang wisata bahari Indonesia oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya pada 29 Oktober 2016.

Oleh Bambang Purwanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016