Jakarta (ANTARA News) - Dunia internasional pada tahun 2016 adalah periode gemilang bagi politisi yang berhasil menyempurnakan seni membual seperti Donald Trump,"penjual dusta" yang memenangi pemilihan umum presiden Amerika Serikat.

Trump bukanlah satu-satunya pembohong yang berjaya--sekitar 70 persen dari perkataannya salah secara faktual, menurut temuan lembaga PolitiFact. Larisnya industri pemalsuan kebenaran juga terjadi di Inggris saat negara itu keluar dari Uni Eropa--juga di Prancis, Jerman, dan Belanda saat gelombang anti-imigran meruyak.

Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini dijadikan banyak orang sebagai kiblat kebudayaan rasional, pada tahun ini, justru kembali ke abad kegelapan di mana cerita khayal mendapatkan pengiman.

Trump dan para politisi Eropa itu secara bersamaan berhasil menemukan teknik baru mengepul banyak suara meski berulang kali tertangkap basah mengibuli orang. Sepanjang tahun ini, mereka berhasil membuat fakta menjadi prioritas terakhir pertimbangan para pemegang hak pilih.

Inilah yang disebut sebagai fenomena "post-truth" atau pasca-kebenaran, sebuah istilah yang pada tahun ini mendapat gelar kehormatan sebagai "kata tahun ini" oleh Kamus Besar Oxford. Pasca-kebenaran merupakan kata sifat yang merujuk pada "kurangnya daya pikat fakta objektif dalam pembentukan opini masyarakat dibanding emosi dan prasangka".

Pasca-kebenaran bermakna jauh lebih luas dibanding dusta. Jika dalam dusta sebuah fakta direkayasa, pasca-kebenaran membuat "yang nyata" menjadi tidak penting dan, oleh karena itu, verifikasi atas kesahihan ucapan tidak akan mengubah apa-apa.

Fenomena ini terlihat jelas dalam masa kampanye pemilihan umum presiden Amerika Serikat. Trump membalik semua ramalan dengan mengalahkan Hillary Clinton, meski semua media massa ramai-ramai menelanjangi kebohongan-kebohongan Trump.

Gelombang pemberitaan negatif itu tidak mengubah pendirian warga Amerika Serikat. Mereka tetap memilih sang pendusta untuk memegang kekuasaan tertinggi negara.

Lalu pertanyaannya, kenapa penduduk di negara-negara maju dengan tingkat pendidikan yang tinggi itu memilih pembohong? Dan kenapa pula tokoh-tokoh yang menyempurnakan seni membual seperti Trump, Nigel Farage (Inggris), Marie Le Pen (Prancis), Frauke Petry (Jerman), dan Geert Wilders (Belanda) bisa muncul dan berjaya pada waktu yang sama?

Untuk pertanyaan kedua, jawabannya adalah momentum. Di Amerika Serikat, Donald Trump berhasil membaca dengan baik keresahan warga soal kecenderungan globalisasi yang membuat raksasa manufaktur seperti produsen telepon pintar Apple dan mobil Ford memindahkan pabrik mereka ke negara-negara berburuh murah seperti China atau Meksiko.

Sementara di Eropa, kedatangan jutaan pengungsi pelarian perang Suriah selama dua tahun terakhir membuat warga lokal khawatir atas invasi kebudayaan Muslim yang dianggap seperti minyak bagi air sekularisme Eropa.

Dua momentum ini kemudian bisa menjawab pertanyaan pertama. Di Eropa, prasangka terhadap para pendatang yang membawa kebudayaan dan identitas berbeda sudah sedemikian kuat sehingga klarifikasi berita-berita palsu--seperti rumor yang menyebutkan seorang pengungsi Muslim di Jerman merusak toilet karena pernah diduduki oleh orang kafir--tidak akan banyak membawa dampak.

Demikian pula yang terjadi pada para buruh kerah biru Amerika Serikat yang geram pada Meksiko dan imigran karena mencuri pekerjaan mereka.

Para politisi seperti Trump dan Le Pen mengeksploitasi keresahan dan kegeraman itu dengan menciptakan kebohongan yang semakin menguatkan prasangka warga. Inilah cara kerja utama politik pasca-kebenaran, yang tidak hanya melibatkan kebohongan tapi juga memanfaatkan sentimen yang telah ada sebelumnya.

Trump misalnya berdusta, dengan mengatakan "Meksiko mengirim pengedar narkoba dan pemerkosa untuk menghancurkan Amerika Serikat", untuk menguatkan prasangka bahwa imigran Meksiko memang membuat penduduk pribumi kehilangan mata pencaharian.

Berita palsu soal pengrusakan toilet oleh pengungsi di Jerman adalah contoh lain. Politisi garis kanan mengarang fakta tersebut untuk menguatkan praduga bahwa pengungsi Muslim tidak akan bisa beradaptasi dengan kebudayaan sekuler di Eropa.


Kegagalan media

Persis pada titik inilah media-media arus utama di dunia Barat gagal menangkal bangkitnya politik pasca-kebenaran yang dimotori para pendusta.

Media-media itu hanya sibuk melakukan pengecekan fakta dan cukup berbangga diri telah berhasil membongkar kebohongan para politisi yang membual. Padahal, seorang politisi hanya merekayasa fakta berdasarkan sentimen yang berkembang di masyarakat. Tanpa sentimen awal, kebohongan itu akan dengan cepat menguap.

Media-media arus utama menutup mata terhadap sentimen dan praduga ini. Di Eropa, mereka ramai mengklarifikasi kebohongan berita pengrusakan toilet, tapi tidak membahas bagaimana proses akulturasi budaya pendatang. Media-media tersebut juga jarang mengulas bagaimana pemerintah bisa menyediakan pekerjaan bagi pengungsi tanpa harus menghilangkan kesempatan bagi warga lokal.

Sementara di Amerika Serikat, para juru tulis berita lebih memilih menertawakan usulan pembangunan tembok besar di sekitar perbatasan Meksiko dan tudingan Trump soal imigran "pemerkosa". Padahal dalam perspektif pemilih, proposal Trump hanyalah hiperbola untuk mengatakan bahwa Amerika Serikat butuh sistem keimigrasian yang lebih baik. Media arus utama dan politisi yang mengaku progresif gagal menangkap aspirasi ini.

Demikian pula soal kontroversi perkataan Trump soal "perubahan iklim hanyalah berita palsu yang diciptakan China untuk menghancurkan ekonomi Amerika Serikat". Media arus utama buta terhadap kenyataan bahwa kata kunci yang diperhatikan pemilih adalah "China" dan "kehancuran ekonomi"--bukan "perubahan iklim."

Maka jangan heran ketika para jurnalis membongkar kebohongan Trump soal perubahan iklim, para pemilih justru menanggapinya dengan ringan,"ya media-media itu sudah dibayar oleh petinggi China." 

Masyarakat bukannya tidak sadar akan bahaya perubahan iklim. Tapi mereka lebih risau melihat Apple mengalih dayakan ("outsource") perakitan telepon pintar iPhone ke China sehingga penduduk Amerika Serikat hanya menjadi konsumen pasif.

Oleh karena itulah tingkat kepercayaan masyarakat Barat terhadap media kini berada di titik nadir. Mereka menganggap media gagal mewakili aspirasi dan keresahan mereka, dan lebih tertarik untuk menjatuhkan politisi seperti Trump dengan "pengecekan fakta."

Oleh karena itu pula, upaya sejumlah surat kabar besar menangkal berita palsu--dengan bekerja sama dengan raksasa sosial media seperti Facebook--tidak akan berbuah banyak.

Berita palsu dan dusta dalam era pasca-kebenaran hanyalah lapisan terluar dari kegelisahan yang nyata. Selama kegelisahan itu tidak diartikulasikan oleh para pembawa kabar, selama itu pula masyarakat tidak akan percaya dengan gelontoran "fakta-fakta objektif" dari media massa.

Bangkitnya era politik pasca-kebenaran ini harus menjadi pelajaran bagi media-media arus utama di Indonesia yang juga sudah mulai kehilangan kepercayaan masyarakat--terutama dalam kaitannya dengan isu kebangkitan komunisme, invasi China, dan dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama.

Tanda-tanda kebangkitan politik pasca-kebenaran di Indonesia sudah semakin banyak.

Yang pertama, sebagian masyarakat lebih percaya dengan situs-situs berita penyebar dusta dibanding institusi warta konvensional. Yang kedua, para intelektual lebih tertarik mengklarifikasi kebohongan remeh temeh yang sebenarnya hanya merupakan lapisan terluar dari keresahan yang lebih dalam.

Begitulah dunia dalam berita pada 2016, sebuah tahun murung di mana rekayasa fakta menjadi industri yang sangat menjanjikan. 

Oleh GM Nur Lintang
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2016