Jakarta (ANTARA News) - Wacana unsur partai politik masuk menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ramai diperbincangkan dalam dua pekan terakhir kendati fraksi-fraksi di DPR belum menghasilkan kesepakatan.

Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, menguraikan pendapatnya bahwa partai politik bisa saja masuk ke dalam KPU asalkan tidak memiliki hak suara, melainkan hanya hak bicara dan wewenang guna menyaksikan tahapan pemilu.

Selain itu, DPR bisa belajar dari pengalaman pemilu Indonesia di masa lalu dan pemilu negara lain yang menyertakan unsur parpol dalam KPU-nya namun tetap dibatasi kuota.

Menurut Ubedilah, motif partai politik untuk masuk ke dalam KPU muncul karena asumsi adanya intervensi kekuasaan yang mungkin terjadi baik di tingkat daerah maupun pusat.

"Tetapi keinginan partai masuk KPU kurang pas jika dibangun dari dugaan intervensi," kata Ubedilah melalui surat elektronik yang diterima di Jakarta, Selasa (27/3).

Ia menilai, argumentasi yang patut dibangun KPU adalah keinginan untuk terjadinya saling kontrol antar komisioner.

"Ada semacam check and balances di antara para komisioner, sehingga mampu melahirkan keputusan yang tepat dan meminimalisir conflict of interest di antara para komisioner. Ketika check and balances terjadi dan conflict of interest diminimalisir maka KPU akan bekerja secara profesional dan menjadi bagian penting menghadirkan pemilu demokratis dan berkualitas," jelas Ubedilah.

Selain membangun argumen untuk saling mengontrol antar komisioner KPU, Ubedilah juga menilai masalah terkait data pemilih juga menjadi ukuran seberapa seriusnya KPU bekerja.

Performa parpol

Keinginan partai politik memiliki wakil di KPU justru muncul di tengah performa partai politik yang kurang baik.

"Sebab kritik publik terhadap parpol yang paling menonjol adalah buruknya performa parpol dalam 10 tahun terakhir hingga saat ini, meski mungkin ada beberapa partai yang kinerjanya membaik," lanjut Direktur Eksekutif Puspol Indonesia itu.

Ubedilah menilai, buruknya performa partai politik bisa dicermati dari indikator kinerja partai dari anggota partai duduk di DPR.

"Dari segi fungsi legislasi, DPR masih jauh dari target program legislasi nasional," kata dia. "Dari fungsi pengawasan juga kinerjanya buruk, selama dua tahun ini DPR sering batal melaksanakan fungsi pengawasan misalnya dalam menjalankan hak angket."

Ia mengatakan partai politik belum berhasil melakukan regenerasi, itu terlihat dengan kuatnya dinasti dan oligarki politik di tubuh partai.

"Sejumlah problem memburuknya performa partai tersebut seharusnya memang tidak membuat partai politik kehilangan energinya untuk menjalankan fungsinya di DPR," kata dia.

Memadukan pengalaman


Sebelumnya, Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menggelar studi banding ke Jerman dan Meksiko guna meyakinkan DPR dan publik mengenai urgensi perwakilan partai menjadi komisioner KPU.

Menurut Ubedilah, Jerman dan Meksiko memang memasukkan unsur partai politik dalam KPU. Kondisi tersebut mirip dengan KPU di era awal reformasi Indonesia, di mana unsur partai politik duduk menjadi anggota KPU pada pemilu 1999 yang dimenangkan PDI Perjuangan dan munculnya Partai Keadilan (PK) sebagai pendatang baru.

"Sebenarnya jauh sebelum era reformasi, ketika Indonesia mampu menyelenggarakan pemilu pertama kali (1955) yang dinilai banyak kalangan ilmuwan paling demokratis, panitia pemilihannya juga melibatkan unsur partai politik yang hasilnya pada waktu itu dimenangkan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan partai Masyumi," kata Ubedilah.

Di Meksiko, lanjut dia, anggota KPU terdiri dari unsur hakim, kejaksaan, pemerintah dan semua partai politik menjadi pengurus KPU. Namun unsur partai politik tidak memiliki hak suara melainkan cuma punya hak bicara dan bisa melihat seluruh tahapan Pemilu.

"Artinya dalam mengambil keputusan unsur partai tidak punya hak suara," lanjut Ubedilah.

Untuk itu, Ubedilah menyarankan Pansus UU Pemilu agar belajar dari pengalaman Indonesia pada pemilu 1955 (unsur partai dominan), 1971-1997 (hanya unsur pemerintah), 1999 (unsur partai dominan), 2004-2014 (unsur mantan komisioner KPU daerah), dan pengalaman Jerman termasuk Meksiko serta negara-negara yang secara politik sudah mapan.

"Konsepnya memadukan pengalaman terbaik tersebut. Konsep padu bisa dengan model kuota dari unsur-unsur yang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara pemilu. Misalnya 30 persen dari partai politik, 30 persen unsur pemerintah, dan 40 persen dari unsur masyarakat termasuk LSM, akademisi, maupun profesional," tutur dia.

Dengan sistem kuota tersebut, akan terjadi check and balances di dalam internal KPU. Apalagi jika unsur partai politik cuma diberikan hak bicara dan mendapat kewenangan melihat tahapan pemilu saja, bukan hak suara.

"Maka dengan logika tersebut pandangan yang mengatakan aneh jika parpol masuk KPU karena seperti 'pemain merangkap wasit' menjadi tidak berlaku. Sebab partai bukan unsur dominan di komisioner," kata Ubedilah.

Ia menambahkan, "Agar menghasilkan komisioner yang berkualitas harus dilakukan seleksi yang ketat. Semangat seleksi ketat adalah hasrat kuat guna menghadirkan pemilu yang berkualitas dan demokratis."

(Baca juga: F-Golkar: segera uji kelayakan komisioner KPU-Bawaslu)

Pewarta: Alviansyah P
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017