Surabaya (ANTARA News) - Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi, menduga aparat intelijen saat ini sudah dimanfaatkan oleh sejumlah politisi untuk kepentingan politik menjelang Pemilu 2009.

"Sangat mungkin, aparat intelijen kita kini telah dimanfaatkan oleh politisi, apalagi aparat intelijen yang tidak memiliki komitmen kuat atas tugas utamanya," katanya dalam seminar tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) dan Reformasi Sektor Keamanan di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu.

Ia mengaku, sejak awal telah menangkap indikasi itu. Bahkan banyak di antara para intelijen yang berpindah haluan menjadi politisi. "Kalau sudah begini, maka semakin ruwet saja intelijen kita," kata Ketua Kominda Surabaya itu.

Dalam kesempatan itu dia mengungkapkan beberapa kendala ketika pihaknya mencoba meminta informasi penting dari beberapa aparat intelijen yang akan digunakan sebagai masukan sebelum Pemkot Surabaya mengeluarkan sebuah kebijakan.

"Selalu saja ada alasan yang dikemukakan oleh aparat intelijen instansi samping (Polri, TNI, dan kejaksaan), ketika kami mencoba mendapatkan informasi penting," kata mantan wartawan itu.

Ia menyayangkan, betapa tertutupnya pihak kepolisian, ketika Kominda mencoba mendapatkan informasi utuh mengenai kasus mutilasi di Keputran, Surabaya beberapa waktu lalu.

"Padahal pelaku dan korban adalah warga kami. Tapi mengapa kami tidak diberikan informasi secara utuh mengenai kasus itu," katanya dengan nada kecewa.

Walau begitu, dia tetap menyadari loyalitas aparat intelijen tersebut kepada atasannya masing-masing sebagai pengguna informasi yang tidak memiliki keterikatan secara langsung dengan pemerintah daerah.

"Oleh sebab itu kami berharap, undang-undang intelijen yang sekarang sedang digodok di DPR itu nantinya mengatur, presiden dan kepala daerah menjadi pengguna utama informasi dari aparat intelijen, sehingga kami bisa langsung menjawab para investor asing yang mempertanyakan jaminan keamanan," kata Arif.

Menurut dia, Kominda Surabya sudah melakukan tugas-tugasnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 11 tahun 2006.

"Secara normatif, kami sudah bekerja, hanya tidak terukur. Mungkin dari berbagai pertemuan dengan aparat intelijen samping, hanya sekitar 30 persen saja yang bisa menjadi masukan. Hal ini disebabkan karena ketertutupan aparat intelijen samping itu," katanya.

Sementara itu peneliti Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Sri Yunanto, menambahkan, bahwa aparat intelijen di Indonesia tidak dalam kontrol politik yang proporsional.

"Oleh sebab itu, ketika terjadi peristiwa terorisme, pemerintah dan DPR kaget. Kalau tidak ada kontrol politik yang proporsional, kami khawatir tragedi Ninja di Banyuwangi, pengiriman preman Jakarta ke Ambon akan terulang," katanya.

Ia menganggap selama ini polisi hanya bisa membongkar kasus kejahatan, tanpa bisa menghindari kasus kejahatan itu terjadi. "Kalau polisi hanya bisa membongkar pabrik ekstasi dan kasus kejahatan lainnya, bagi kami itu bukan prestasi karena polisi tidak bisa melakukan langkah preventif. Bahkan sangat memungkinkan terjadinya jual-beli hukum," katanya.

Menurut dia, idealnya Polri berada di bawah Departemen Dalam Negeri. "Sehingga ketika terjadi suatu peristiwa yang berkenaan dengan rakyat banyak, kepala daerah bisa langsung menjatuhkan sanksi," kata Sri Yunanto.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009