Tunis (ANTARA News) - Seorang wanita yang berumur 30 tahun meledakkan dirinya di pusat ibu kota Tunisia pada Senin (29/10) hingga melukai sembilan orang, termasuk delapan personel kepolisian.

Kementerian Dalam Negeri Tunisia menyebut kejadian itu sebagai "ledakan teroris".

Tunisia, yang ekonominya bergantung pada pariwisata, berada dalam keadaan darurat sejak November 2015, tetapi keamanan membaik sejak serangkaian serangan militan menyasar para turis menyebabkan sektor tersebut hampir runtuh tiga tahun lalu.

Saksi mata melukiskan ledakan pada Senin di jalan raya Habib Bourguiba, Tunis tengah, tempat polisi kemudian menutup kawasan dekat Teater Kotapraja yang terkenal dan kedutaan besar Prancis.

"Saya berada di depan teater itu dan mendengar ledakan keras," ujar Mohammed Ekbal bin Rajib, saksi mata, kepada kepada Reuters.

Sejumlah ambulans berdatangan ke tempat kejadian perkara.

Toko-toko tutup di jalan itu, biasanya salah satu jalan tersibuk di ibu kota Tunisia, dan tempat aksi-aksi unjuk rasa menggulingkan pemimpin Zine El-Abidine yang berkuasa lama pada awal revolusi "Musim Semi Arab" tahun 2011.

Pelaku bom bunuh diri itu diketahui sebelumnya tak memiliki latar belakang militan, kata kementerian tersebut. Media setempat mengatakan wanita itu bernama "Mouna", memiliki gelar sarjana perguruan tinggi dalam bahasa Inggris dan berasal dari gubernuran Mahdia di kawasan pesisir.

Tak ada pelancong di antara para korban luka-luka, kata seorang sumber keamanan.

Pada tahun 2015, 21 orang tewas dalam pengepungan sandera di museum nasionalnya, the Bardo di Tunis, dan seorang pria bersenjata menewaskan 38 orang di sebuah pantai wisata. Tahun berikutnya, para militan menguasai kota Ben Guerdane dekat perbatasan Libya.

Sejak itu, tak ada lagi serangan-serangan sejenis, tetapi ekonomi Tunisia masih terkendala dan pihak berwenang mencemaskan kehadiran para militan di Libya, tetangganya.

Tunisia merupakan salah satu dari sedikit negara demokrasi di Afrika dan satu-satunya negara yang membuang kediktatoran yang sudah berlangsung lama dalam Musim Semi Arab tanpa memicu kekerasan berskala besar atau perang saudara.

Tunisia sejak itu beralih ke sistem demokratis, menyelenggarakan pemilihan bebas dan menjamin hak-hak mendasar dalam konstitusi baru. Tetapi, pergolakan dan serangan-serangan militan telah membuat takut wisatawan dan investor, memperburuk krisis ekonomi yang diakibatkan defisit kronis.

Sebanyak 3.000 warga Tunisa bergabung dengan IS dan kelompok-kelompok jihad lain di Irak, Suriah dan Libya sementara ketidakpuasan terkait pengangguran telah meningkat dalam beberapa tahun belakangan di kawasan-kawasan tengah dan selatan negara itu.

Baca juga: Liga Arab kutuk serangan teror di Tunisia
Baca juga: Polisi Tunisia bentrok dengan pengunjuk rasa di sedikitnya lima kota


Sumber: Reuters
Editor: Mohamad Anthoni/Chaidar Abdullah

Pewarta: Antara
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2018