Jakarta (ANTARA News) - Lima orang anggota DPRD Sumatera Utara didakwa menerima suap dari Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho sejumlah ratusan juga rupiah.

Suap diduga diberikan agar memberikan pengesahan terhadap Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJP) APBD Sumut tahun anggaran 2012, APBD-P 2012, APBD 2014, APBD-P 2014, dan APBD 2015.
   
Kelima orang tersebut adalah anggota Fraksi PPP DPRD Sumut periode 2009-2019 Rijal Sirait; anggota Fraksi PPP DPRD Sumut periode 2009-2019 Fadly Nurzal; anggota Fraksi Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) 2009-2014 DPRD Sumut, dan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat 2014-2019 Rooslynda Marpaung; anggota Fraksi PPRN DPRD Sumut 2009-2014 dan Fraksi Hanura DPRD Sumut 2014-2019 Rinawati Sianturi; dan anggota DPRD Sumut Fraksi Demokrat 2009-2014 Tiasah Ritonga.
   
"Para terdakwa menerima hadiah berupa uang secara bertahap, yaitu terdakwa I Rijal Sirait sebesar Rp477,4 juta; terdakwa II Fadly Nurzal sebesar Rp960 juta; terdakwa III Rooslynda Marpaung sebesar Rp885 juta; terdakwa IV Rinawati Sianturi sebesar Rp505 juta dan terdakwa Tiasah Ritonga sebesar Rp480 juta dari Gatot Pujo Nugroho selaku Gubernur provinsi Sumut," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Kiki Ahmad Yani di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
   
Uang itu digunakan untuk pertama, pengesahan terhadap LPJB Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi Sumut tahun anggaran (TA) 2012. Wakil Ketua DPRD Sumut 2009-2014 Kamaluddin Harahap meminta kompensasi yang disebut "uang ketok" kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Nurdin Lubis sebesar Rp1,55 miliar untuk seluruh anggota DPRD Sumut.
   
Pembagiannya, anggota DPRD masing-masing mendapat bagian sebear Rp12,5 juta; sekretaris fraksi mendapat sebesar Rp17,5 juta; ketua fraksi mendapat Rp20 juta; wakil Ketua DPRD mendapat tambahan Rp40 juta; dan ketua DPRD mendapat tambahan Rp77,5 juta.
   
Uang ketok itu berasal dari pinjaman Anwar Ul Haq sebesar Rp1,5 miliar yang bersumber dari beberapa SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Sumut. Uang diserahkan pada September 2013.
   
Kedua, pengesahan terhadap APBD Perubahan Sumut TA 2013. Wakil Ketua DPRD Sumut saat itu Kamaluddin Harahap kembali meminta "uang ketok" sebesar Rp2,55 miliar.
   
Pembagiannya adalah anggota DPRD masing-masing mendapat bagian sebear Rp15 juta; anggota badan anggaran (banggar) mendapat tambahan sebesar Rp10 juta; sekretaris fraksi mendapat sebesar Rp10 juta; ketua fraksi mendapat tambahan Rp15 juta; wakil Ketua DPRD mendapat tambahan Rp50 juta; dan ketua DPRD mendapat tambahan Rp150 juta.
   
Uang diberikan pada Oktober-November 2013 oleh Muhammad Alinafiah sesuai catatan pembagian uang dari Kamaluddin Harahap. Uang berasal dari SKPD di lingkungan Provinsi Sumut.
   
Ketiga, pengesahan APBD Sumut TA 2014. Wakil Ketua DPRD Sumut saat itu Kamaluddin Harahap dan Sigit Pramono Asri menyampaikan permintaan proyek belanja modal senilai Rp1 triliun, tapi Gatot menolaknya sehingga disepakati penggantiannya dalam bentuk uang tunai sebesar Rp50 miliar kepada seluruh anggota DPRD Sumut.
   
"Pembagiannya melalui bendahara dewan, yaitu Muhammad Alinafiah agar seolah-olah anggota DPRD provinsi Sumut mengambil gaji dan honor lain setiap bulannya," tambah jaksa Kiki.
   
Namun, Kamaluddin lalu meminta agar Rp6,2 miliar diberikan lebih dulu sebagai bagian "uang ketok" Rp50 miliar tersebut agar APBD Sumut TA 2014 disetujui.
   
Selanjutnya Muhammad Alinafiah memberikan secara bertahap kepada para terdakwa dengan rincian Ketua DPRD mendapat bagian sebesar Rp2 miliar, wakil ketua DPRD masing-masing mendapat bagian sebesar Rp900 juta sampai Rp1 miliar, ketua fraksi mendapat bagian Rp700 juta, sekretaris fraksi mendapat masing-masing Rp600 juta, banggar DPRD mendapat bagian sebesar Rp450 juta, anggota DPRD masing-masing Rp350 juta.
   
"Sehingga terkait pengesahan APBD Sumut TA 2014, terdakwa I menerima uang seluruhnya Rp400 juta, terdakwa II seluruhnya Rp775 juta, terdakwa III seluruhnya Rp775 juta, terdakwa IV seluruhnya Rp400 juta dan terdakwa Tiasah Ritonga seluruhnya Rp350 juta," tambah jaksa Kiki.
   
Keempat, pengesahan terhadap APBD Perubahan Sumut 2014 dan APBD Sumut TA 2015. Untuk pengesahan kedua hal tersebut, anggota DPRD meminta Rp200 juta per anggota. Permintaan itu disanggupi dan akan diberikan setelah rancangan perda tentang APBD Sumut TA 2015 disetujui DPRD Sumut.
   
Gatot lalu memerintahkan Ahmad Fuad Lubis untuk mengumpulkan dana dari SKPD-SKPD di Sumut dengan dibantu Zulkarnain alias Zul Jenggot.
   
Pada kurun waktu September-Desember 2014, Ahmad Fuad Lubis membagikan uang kepada seluruh anggota DPRD Sumut termasuk para terdakwa. 
   
"Bahwa pada waktu yang sudah tidak dapat diingat lagi sekitar 2015 di salah satu restoran di mal Episentrum, terdakwa II juga menerima uang Rp75 juta dari Zulkarnain alias Zul Jenggot, sehingga terkait pengesahan APBD 2014 dan APBD 2015 terdakwa I menerima sebesar Rp50 juta, terdakwa II menerima Rp125 juta, terdakwa III menerima Rp50 juta, terdakwa IV menerima Rp75 juta dan terdakwa Tiasah Ritonga Rp100 juta," ungkap Kiki.
   
Kelima, pengesahan terhadap LPJP APBD TA 2014. Dalam rapat setengah kamar yang dihadiri pihak Provinsi Sumut dan semua ketua fraksi DPRD Sumut, yaitu dari Fraksi Golkar, PDI-Perjuangan, Fraksi Keadilan Persatuan Bangsa, fraksi Nasdem, fraksi Demokrat, fraksi PKS, fraksi Gerindra, fraksi Hanura dan fraksi PKB; anggota DPRD SUmut meminta uang Rp1 miliar untuk pengesahan LPJP APBD Sumut 2014.
   
Namun, Gatot Pujo Nugroho tidak bersedia memberikannya sehingga akhirnya dicapai kesepakatan pemberian "hanya" Rp300 juta dengan rincian anggota DPRD mendapat Rp2,5 juta, ketua fraksi Rp5 juta, pimpinan DPRD Rp7,5 juta sehingga terdakwa IV Rinawati Sianturi mendapatkan Rp2,5 juta dan Tiasah Ritonga mendapatkan Rp2,5 juta.
   
Terhadap perbuatannya tersebut, kelima terdakwa didakwa berdasarkan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 ayat huruf b atau atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
   
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
   
Atas dakwaan itu, kelima terdakwa tidak mengajuakn keberatan. Sidang dilanjutkan pada 28 November 2018 dengan agenda pemeriksaan saksi.
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018