Donggala, Sulawesi Tengah, (ANTARA News) - Korban gempa dan tsunami di Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, membutuhkan bantuan pembangunan hunian sementara (Huntara) sebagai pengganti tempat tinggal mereka.

"Iya, kami membutuhkan Huntara. Sampai saat ini korban gempa dan tsunami masih tidur di bawah tenda terpal," kata salah seorang tokoh masyarakat Desa, Lero Kecamatan Sinue, Mohammad Hamdin terkait pembangunan kesejahteraan korban, Kamis.

Dia mengatakan, sebagian korban sampai saat ini masih tidur di bawah tenda terpal di lapangan Sanggola, Dusun 01 Pompaya, Desa Lero. Tercatat sekitar 1.200 jiwa mengungsi di lapangan tersebut.

Saat ini, menurut Hamdin, ada pembangunan Huntara sebanyak 85 unit dari salah satu relawan, bukan dari pemerintah daerah.

Hal itu, sudah membantu korban gempa dari hujan dan terik panas matahari, walaupun belum semua kepala keluarga(KK) dapat menghuni Huntara itu.

"Ada 256 KK di Kecamatan Sindue di pastikan tidak kembali ke tempat tinggal, karena lokasinya telah rusak total dan rusak berat. Tidak layak dihuni," katanya.

Hamdin yang merupakan calon legislatif DPRD Kabupaten Donggala itu mengemukakan, 256 KK itu menghuni 120 rumah, yang saat ini kondisi rumah mereka rusak berat dan tidak layak huni.

Dia mengaku bahwa saat ini beberapa relawan sedang membangun Huntara. Diantaranya dari Daru Tauhid dan BUMN PT Nindya Karya.

"Di Desa Lero Tatari juga sedang dilakukan pembangunan Huntara oleh relawan Daru Tauhid sebanyak 150 unit. Selain itu ada juga dari PT. Nindya Karya. Semua sedang berproses," ujar Hamdin.

Sebelumnya anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Muhamad Masykur menilai Pemerintah Kabupaten Donggala lamban membangun Huntara bagi korban gempa dan tsunami pascabencana itu menghantam Desa Lero dan Lero Tatari, Kecamatan Sindue.

"Sudah sebulan lebih warga korban bencana alam hidup di tempat pengungsian. Sebanyak ribuan jiwa masih tidur di atas tanah beralaskan tikar dan beratap tenda," katanya terkait dengan upaya pemerintah membangun kesejahteraan masyarakat pascabencana di Donggala.

Sebagian besar korban gempa dan tsunami di Desa Lero dan Lero Tatari tidak lagi memiliki tempat tinggal pascabencana itu menerjang.

"Kondisi seperti ini tentunya sudah tidak manusiawi. Adaptasi kemampuan dan daya tahan tubuh ada batasnya. Apalagi, ada banyak orang tua dan anak-anak hidup di tenda. Penyakit sudah pasti kerap datang mengancam," kata Wakil Ketua Komisi III DPRD Provinsi Sulteng itu.

Dari aspek kesehatan, kata Masykur, ada batas toleransi berapa lama setiap manusia dapat hidup dari kondisi seperti itu. Satu bulan itu sudah sangat lama, idealnya paling lama dua minggu.

"Kalau sudah lebih, itu artinya ada hak warga korban yang diabaikan," kata Ketua Fraksi NasDem DPRD Provinsi Sulteng itu.

Ia mengemukakan bahwa pada masa penetapan status transisi darurat ke pemulihan gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi selama 60 hari terhitung mulai 27 Oktober hingga 25 Desember 2018.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No.466/425/BPBD/2018 pada 25/10/2018 maka salah satu tugas mendesak Pemda adalah menyediakan Huntara.

"Tidak ada debat lagi di soal itu sebab mau sampaikan kapan lagi warga korban dibiarkan hidup seperti itu. Apakah kita mesti menunggu semua sakit atau tunggu sampai ada yang meninggal. Saya kira di antara kita tidak ada yang menginginkan seperti itu," tandas Masykur.*


Baca juga: Huntara untuk 14.400 KK siap Desember

Baca juga: Pemerintah ingin warga-pengusaha lokal ikut bangun huntara


 

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018