Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mendorong pemeriksaan dini untuk mengatasi masalah kelamin ambigu akibat gangguan perkembangan sistem reproduksi (Disorders of Sex Development/DSD).

Peneliti Lembaga Eijkman Dr Nanis Sacharina Marzuki Sp.A(K) kepada wartawan di Jakarta, Kamis, menjelaskan bahwa pada bayi yang alat kelamin luarnya tidak jelas menandakan perempuan atau laki-laki, jenis kelamin bisa ditetapkan berdasarkan kondisi genetik lewat analisis kromosom, pemeriksaan hormon di urine hingga analisis DNA.

Menurut Nanis, analisis kromosom membutuhkan waktu dua minggu, proses pemeriksaan hormon di urine memakan waktu lima hari, dan analisis DNA membutuhkan waktu dua minggu.

Analisis kromosom akan menentukan apakah bayi laki-laki yang secara genetik 46,XY atau perempuan yang secara genetik 46,XX.

Sementara pemeriksaan hormon di urine diperlukan untuk mendeteksi kekurangan enzim 5AR2 yang menyebabkan tidak berkembangnya alat kelamin luar laki-laki sebagaimana semestinya.

Kalau hasil pemeriksaan menunjukkan si bayi positif kekurangan enzim 5AR2, maka akan dilanjutkan dengan analisis DNA untuk memastikan ulang adanya gangguan perkembangan sistem reproduksi.

Penetapan jenis kelamin pada masalah kelamin ambigu akan membantu keluarga dan orang-orang di sekitar si bayi menentukan perlakuan dan pola asuh yang tepat bagi bayi sesuai jenis kelamin secara genetik mengingat kesalahan pola asuh bisa menimbulkan konflik psikologis dan sosial bagi pasien dan keluaranya. 

"Dengan demikian, kesalahan pola asuh dengan segala konsekuensi medis, psikososial dan psikoseksual dapat dihindari," kata Nanis.

Ia menuturkan ada kasus di mana satu individu terlihat berjenis kelamin perempuan padahal ternyata ada benjolan di lipatan paha atau di bibir kelaminnya, atau individu yang dianggap sebagai lelaki karena memiliki klitoris terlihat lebih besar daripada umumnya bayi perempuan sehingga menyerupai penis. 

Ada juga fenomena di mana anak perempuan berubah menjadi lelaki saat mencapai usia pubertas, atau anak perempuan yang payudaranya tidak tumbuh dan tidak mengalami menstruasi sampai usia dewasa. 

Nanis menuturkan, jika sampai usia 13 tahun anak yang dianggap perempuan tidak mengalami menstruasi dan payudaranya tidak tumbuh maka sebaiknya diperiksakan karena kemungkinan dia mengalami apa yang disebut masalah kelamin ambigu. 

Menurut dia, dokter juga harus menanyakan secara aktif kepada pasien tersebut karena pasien seringkali malu mengungkapkan masalah pubertas di depan orang lain. 

Jika ibu atau ayah membawa kelainan genetik penyebab gangguan perkembangan sistem reproduksi karena kekurangan enzim 5AR2 maka tiap kehamilan memiliki kemungkinan 75 persen normal dan 25 persen dengan gangguan perkembangan sistem reproduksi. 

"Awareness (kesadaran) untuk melakukan pemeriksaan sejak dini itu harus ditingkatkan," katanya.

Studi keluarga dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit genetik atau kelainan genetik yang menyebabkan terjadinya DSD pada keturunan.

Nanis juga menuturkan dokter harus melakukan pemeriksaan detail pada saat bayi lahir, terutama jika diduga mengalami DSD.

"Jangan sampai ketahuannya saat masuk pubertas," kata dia. 

Baca juga:
Pemeriksaan hormon di urine memudahkan diagnosis kelainan sistem reproduksi
Peneliti ungkap penyebab gangguan perkembangan seksual

 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019