Kapal trawl kan seharusnya tidak boleh beroperasi di perairan, namun masih saja ada nelayan yang menangkap ikan menggunakan trawl, kata Joker.
Bengkulu (ANTARA) - Aparat kepolisian Resor Bengkulu menahan lima orang anak buah kapal nelayan pengguna alat tangkap pukat harimau atau trawl yang beroperasi di perairan itu, Kamis.

Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Kota Bengkulu AKBP Heru Prianggodo mengatakan, kelima anak buah kapal tersebut saat ini diamankan di Polres Kota Bengkulu untuk dimintai keterangan terkait penggunaan alat tangkap terlarang itu.

“Kami akan proses mengenai permasalahan kapal trawl ini sesuai hukum yang berlaku,” kata Heru.

Ia meminta kepada masyarakat agar tidak terpancing dan dapat menahan diri dan menyerahkan seluruh permasalahan ini kepada pihak berwajib.

Sebelumnya masyarakat nelayan Kelurahan Malabero menghadang enam kapal pengguna trawl yang sedang beroperasi di perairan wilayah itu dan berhasil menangkap dua kapal lalu menggiring kapal ke perairan Malabero dan langsung membakarnya.

Selain menyerahkan anak buah kapal ke pihak kepolisian, nelayan juga mengamankan barang bukti seperti jaring, box besar serta ikan hasil tangkapan.

Nelayan Malabero, Buyung Joker mengatakan, masyarakat Malabero menahan dan spontan membakar kapal tersebut karena selama ini operasi kapal trawl sudah merusak ekosistem laut.

"Kapal trawl kan seharusnya tidak boleh beroperasi di perairan, namun masih saja ada nelayan yang menangkap ikan menggunakan trawl," kata Joker.

Melihat tidak ada tindakan tegas dari aparat terkait atas permasalahan penggunaan trawl di perairan Provinsi Bengkulu, nelayan Malabero akhirnya melakukan tindakan dengan menangkap dan membakar kapal pengguna trawl tersebut.

Ia menyebutkan bahwa sebelumnya masyarakat nelayan Malabero telah beberapa kali melihat kapal pengguna trawl berkeliaran lalu nelayan tradisional menghampiri kapal trawl dan terjadilah bentrok di perairan Pantai Panjang tepatnya di perairan Lempuing pada Rabu (13/3).

Penahanan dan pembakaran kapal pengguna pukat di tengah laut sebelumnya pernah terjadi sekitar tahun 1999. Para nelayan tradisional melakukan tindakan itu karena khawatir sumber daya laut terkuras habis dan rusak akibat penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan.

Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Menurut hasil kajian WWF-Indonesia, hanya sekitar 18-40 persen hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, 60-82 persennya merupakan tangkapan sampingan, sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati.

Hasil tangkapan trawl dan cantrang tidak selektif, mencakup ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya dengan semua ukuran, termasuk yang sedang memijah. Kondisi ini menyebabkan pengurangan stok sumber daya ikan. Selain itu penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan juga bisa menimbulkan kerusakan pada terumbu karang dan tempat perkembangbiakan ikan menurut WWF Indonesia.

Pewarta: Helti Marini S
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019