Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Pemilih Umum Evi Novida Ginting Manik mengatakan  Raden Ajeng Kartini telah mengajarkan bagaimana pendidikan itu penting bagi perempuan agar menjadi mandiri, mampu secara ekonomi dan menumbuhkan kepercayaan diri dan tidak lagi tersubordinasi.

"Hari Kartini bagi saya tentu punya makna. Kartini mengingatkan kita bahwa perempuan perlu mendapatkan pendidikan," kata Komisioner Divisi SDM, organisasi, Diklat Litbang KPU RI itu saat dihubungi Antara, Minggu (20/4) malam.

Sejak April 2017 perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara yang memasuki usia 53 tahun itu telah menduduki kursi sebagai salah satu dari tujuh komisioner  lembaga penyelenggara pemilihan umum di Indonesia.

Ibu empat orang anak ini mengatakan Hari Kartini yang diajarkan di sekolah sejak kecil adalah untuk mengingatkan betapa pentingnya pendidikan bagi perempuan.

Kartini mengajarkan tentang perubahan yang dapat dilakukan oleh perempuan, keluar dari zona nyamanya sebagai individu yang secara budaya dianggap sebagai kelas kedua setelah laki-laki.

Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk kehidupan perempuan itu sendiri, karirnya, atau untuk pekerjaannya. Tetapi kodratnya sebagai ibu dan juga seorang istri.

Mantan Ketua KPU Kota Medan periode 2008-2013 mengatakan kodrat perempuan sebagai ibu yang pertama kali mengajarkan pendidikan kepada anaknya.

"Ibulah yang membuka mata anaknya dari gelap menjadi terang, melihat dunia, mengajarkan berjalan, semua itu dimulai dari tangan ibu," kata dia.

Lagi-lagi Evi mengingatkan pentingnya pendidikan bagi perempuan karena yang akan membesarkannya adalah perempuan, dengan pendidikan seorang ibu akan memberikan masa depan lebih baik kepada anaknya.

Perkembangan perempuan dari masa ke masa menurut pandangan Evi sudah lebih baik. Saat ini perempuan di Indonesia sudah bebas mendapatkan pendidikan, masuk dalam pekerjaan yang didominiasi kaum laki-laki, tidak ada lagi batasan.

Tetapi di ranah politik peran perempuan Indonesia masih sangat rendah. Kondisi ini menjadi peringatan bagi kaum perempuan bahwa masih banyak pekerjaan rumah untuk perempuan Indonesia.

Walau satu sisi punya kebebasan, tetapi kadang kebebasan itu belum mampu mengangkat keinginan perempuan masuk ke ranah politik.

"Karena kita punya kendala di budaya, adanya sistem patriaki, atau keengganan perempuan untuk masuk atau keluar dari wilayah domestiknya," kata alumni Universitas Sumatera Utara itu.

Evi mengatakan sudah saatnya perempuan keluar dari zona nyamannya, tidak lagi menjadi follower (pengikut), tidak lagi menjadi pelaku, tapi menjadi subjek, tidak lagi tersubordinasi dari suami, lingkungan dan sekitarnya.

Mantan Dosen Ilmu Politik FISIP Unsu ini berpesan agar kaum perempuan Indonesia yakin pada kemampuannya sama kuatnya dengan laki-laki, walau memiliki kodrat tetapi tidak menjadi batasan.

"Kodrat perempuan harus dihargai, bukan jadi alasan untuk mensubordinasikan perempuan, kita bisa menjadi pemimpin," katanya.

Hal yang harus dilakukan perempuan untuk keluar dari zona nyamannya adalah meraih pendidikan seluas-luasnya. Dengan pendidikan, menambah kepercayaan dirinya, tidak lagi ragu-ragu, berani menghadapi kodratnya.

Tipe perempuan belum memulai sesuatu kerap ragu. Sifat itu harus ditepis oleh kaum perempuan. Dan ketika masuk ke ranah politik, perempuan harus mempersiapkan diri jangan hanya menjadi 'cantelan' mengisi kuota 30 persen.

"Perempuan yang akan mengisi parlemen harus membekali diri dengan pendidikan, kemampuan, pengetahuan, sehingga tidak dianggap remeh, dan patut diperhitungkan," kata Evi.

Evi yang tinggal terpisah dari suami dan empat anaknya menjalani tugas sebagai Komisioner KPU RI dengan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Ada kalanya Evi pulang ke Medan, atau suami dan anak-anak yang mengunjunginya ke Jakarta.

Kecanggihan teknologi saat ini juga yang memudahkan Evi menebas jarak dan rindu dengan keluargannya yang berdomisili di Medan.

"Ada sesuatu yang membuat perempuan diperhitungkan dan penting, tidak lagi dianggap enteng, diremehkan, yakni pendidikan," katanya.
 

Pewarta: Virna P Setyorini/Laily Rahmawaty
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019