Umumnya krisis terjadi karena pengabaian terhadap gejalanya. Respons awal sangat menentukan segalanya
Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Menteri Agama Bidang Komunikasi dan Informasi Kementerian Agama (Kemenag) Hadi Rahman mengidentifikasi setidaknya ada enam masalah yang berpotensi menjadi pemicu bagi terjadinya krisis dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Hadi Rahman saat menyampaikan materi Pembekalan Terintegrasi Petugas Haji Arab Saudi di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Kamis, mengatakan ada enam kelompok persoalan yang berpotensi menjadi krisis dalam ibadah haji.

“Umumnya krisis terjadi karena pengabaian terhadap gejalanya. Respons awal sangat menentukan segalanya,” katanya.

Sebanyak enam kelompok yang berpotensi menjadi krisis masalah yakni perihal peribadatan, pelayanan, pelanggaran, perlindungan, dan keselamatan, dan peristiwa tidak terduga.

Untuk masalah peribadatan misalnya jamaah haji tidak miqat, pakai ihram tidak sesuai ketentuan, kurang hitung tawaf-sai, dan haji tamattu’ tak bayar dam. Solusinya yakni penguatan manasik.

Sedangkan untuk pelayanan meliputi minimnya dan penempatan tak pasti, bus mogok dan tidak tepat jadwal, konsumsi terlambat dan menu tak cocok, sakit saat Armina (Arafah, Muzdalifah dan Mina), dan penanganan lama. Maka solusinya adalah diusulkan meningkatkan kecepatan respons.

Sementara untuk kelompok masalah pelanggaran meliputi disegelnya dapur baladiah, alat disita imigrasi, dan melanggar larangan pemerintah Arab Saudi. Maka solusi dilakukan dengan penanganan proporsional sesuai kasus.

Untuk masalah perlindungan meliputi kriminalitas, kecelakaan lalu lintas, jam larangan, dan terpisah dari rombongan. Solusinya dengan pengawasan melekat (waskat), dan sosialisasi intensif.

Sedangkan untuk keselamatan cenderung pada masalah lift, tangga, lorong, penyalahgunaan fasilitas (sprinkle, kloset, air), pelanggaran aturan hotel (merokok, memasak, setrika, atribut), dan disorientasi. Maka solusinya dengan memperkuat panduan bagi jemaah.

Selain itu, kelompok masalah keenam adalah masalah tidak terduga, meliputi kebakaran, badai Arafah, rebutan tenda, jatuhnya crane, tragedi Mina. Solusi yang diterapkan yakni penerapan mitigasi krisis.

“Sejumlah evaluasi dilakukan dalam hal pembinaan ibadah termasuk tentang fikh, tarikh, dan hikmah haji diurai secara mendasar untuk minimalisasi ketidakpahaman jemaah,” katanya.

Selain itu juga memperbaiki infrastruktur untuk merespons perlunya penambahan pasokan listrik, tenda, dan toilet utamanya di Mina.

Pihaknya juga menekankan perlunya "upgrade" bagi bus-bus angkutan Masyair (Arafah-Muzdalifah- Mina) dan penambahan kuota petugas yang sebanyak 3.500 terbukti belum mampu mengimbangi banyaknya jamaah haji.

Di sisi lain perlunya ruang rawat khusus, screening status jemaah haji, perubahan sistem sewa hotel, memastikan telaah regulasi, mengevaluasi keberadaan tim pemandu haji daerah (TPHD), dan meningkatkan proses sweeping.

“Maka untuk tahun 2019 dilakukan seleksi terpusat petugas haji di Kemenag, manasik petugas, penyesuaian beban kerja, pos stasioner, laporan berbasis IT, SOP manajemen krisis,” katanya.

Selain itu pada 2019 juga kloter berbasis embarkasi, fast track semua embarkasi, hingga penyatuan identitas.

Kemudian akan dilakukan zoning akomodasi, AC di Arafah, penomoran tenda, "piloting Fintech", dilakukan pemastian pasokan bahan baku, kualitas dan model koper ditingkatkan, hingga penguatan Mobile Crisis Rescue (MCR), manajemen badal dan safari wukuf.

“Komunikasi antara petugas dengan jamaah diintensifkan melalui aplikasi Haji Pintar yang terintegrasi dengan sistem komputerisasi haji terpadu(siskohat) dan Humas, Data, dan Informasi (HDI),  pelayanan terpadu satu pintu  (PTSP), dan situation room,” demikian Hadi Rahman.

Baca juga: Perjalanan haji 2019 dimulai 7 Juli dan berakhir 16 September

Baca juga: Petugas haji dibekali manajemen krisis

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019