Padang, (ANTARA) - Agaknya apa yang disampaikan Malcolm Lee seorang chef asal Singapura soal makanan dapat menyatukan semua orang lagi lagi terbukti kebenarannya.

Di Padang dalam rangka memeriahkan Idul Fitri 1440 Hijriah digelar Festival 10 ribu Bakcang Ayam dan Lamang Baluo. Makanan tradisional dari dua etnis yang berbeda itu menjadi ajang penguatan akulturasi budaya antara Minang dengan Tionghoa yang selama ini sudah berjalan dengan baik di ibu kota provinsi Sumatera Barat tersebut.

Bagi kalangan Tionghoa bakcang adalah makanan tradisi yang dimakan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina.

Kudapan berbentuk segitiga yang terbuat dari ketan tersebut diisi dengan beragam isian mulai dari daging hingga sayuran.

Memang selama ini bakcang identik dengan isian daging babi, namun di Padang dimodifikasi dengan isian ayam sehingga halal dikonsumsi umat Islam.

Berawal dari pembicaraan sekelompok masyarakat Tionghoa yang ingin membuat sesuatu yang bernilai akhirnya digagas ide untuk membuat Festival 10 ribu bakcang ayam.

Ide tersebut ternyata disambut baik oleh Wali Kota Padang dan mengusulkan agar tidak hanya bakcang namun juga ada makanan khas Minang sehingga dipilih lamang baluo.

Lamang baluo juga terbuat dari ketan dengan isian parutan kelapa dan gula aren dibungkus daun pisang berbentuk lonjong.

Akhirnya dalam rangka menarik kunjungan wisatawan dan memeriahkan Idul Fitri 1440 Hijriah pemerintah Kota Padang menggelar festival 10 ribu bakcang ayam dan lamang baluo pada 6-7 Juni 2019 di kawasan Kota Tua.

"Tujuan digelarnya festival ini selain memeriahkan Idul Fitri juga mengangkat kembali dua makanan khas yaitu bakcang ayam dari etnis Tionghoa dan lamang baluo dari etnis Minang," kata Wali Kota Padang Mahyeldi.

Menurut dia festival ini juga menargetkan bisa memperoleh dua rekor MURI yaitu pembuatan bakcang ayam dan lamang baluo terbanyak yang mencapai 10 ribu.

"Ini juga bukti akulturasi budaya antara etnis Minang dengan Tionghoa terjalin amat baik di Kota Padang," kata dia.

Mahyeldi menyampaikan kegiatan sengaja dipilih pada hari kedua Lebaran karena biasanya masyarakat sudah mulai berekreasi dan ini bisa jadi pilihan.

Ia pun berharap kegiatan ini bisa jadi agenda rutin dan masuk kalender pariwisata ke depan.

Selama rangkaian kegiatan festival di panggung utama yang berada di bawah Jembatan Siti Nurbaya juga ditampilkan kesenian dari dua etnis mulai dari barongsai, aktraksi naga, tari piring, gambang, dan gamad.

Selain itu di lokasi yang tepat berada di Muara Padang itu juga tersaji beragam kuliner di stand yang disediakan panitia.

Usai pencatatan rekor MURI yang akan dilakukan pada Jumat (7/6) 10 ribu bakcang dan lamang baluo akan dibagikan gratis kepada pengunjung.

Sementara Ketua Panitia Festival, Alam Gunawan menyampaikan bakcang merupakan makanan tradisional masyarakat Tionghoa yang hadir 2000 tahun sebelum masehi.

"Saat ini sudah mulai langka karena itu kembali dipopulerkan melalui festival ini," kata dia.

Terkait ada pandangan bakcang identik dengan daging babi ia menyampaikan pada festival yang dibuat adalah bakcang ayam.

Sebenarnya bakcang itu banyak variasinya mulai dari ayam, rendang hingga vegetarian, ujar dia.

Jadi ini kolaborasi antara makanan Tionghoa dengan Minang dan kami menargetkan bisa meraih dua rekor MURI, kata dia.

Ia memaparkan untuk pelaksanaan festival menelan biaya hampir Rp1 miliar yang bersumber dari Pemkot Padang dan bantuan dari sponsor.
Satukan Budaya

Kementerian Pariwisata menilai Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo yang digelar di Padang pada 6-7 Juni 2019 menyatukan kebudayaan Minang dan Tionghoa.

"Dengan adanya festival ini dua budaya menyatu, saya rasa ini pertama kali ada di Indonesia," kata Koordinator Kalender Even Kementerian Pariwisata Raseno Arya.

Menurut dia selama ini banyak even di kalangan masyarakat Tionghoa seperti Imlek dan Cap Gomeh namun tidak digabung dengan kegiatan etnis lainnya.

Di festival ini dua budaya menyatu mulai dari budaya, kuliner hingga seni yang bisa dinikmati oleh masyarakat Minang dan Tionghoa, kata dia.

Ia menilai ini bisa jadi contoh bagi daerah lain bahwa di Padang masyarakatnya amat toleran dengan keberagaman budaya.

Raseno menambahkan kegiatan ini juga upaya meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara yang pada tahun ini ditargetkan sebanyak 275 juta orang.

Apalagi kegiatan dilaksanakan di kawasan Kota Tua yang tepat berada di Jembatan Siti Nurbaya dan di samping Muara Padang.

Selain menikmati festival masyarakat juga bisa melihat aktivitas di Muara Padang dengan deretan kapal yang sandar pada kedua sisi serta pemandangan perbukitan Gunung Padang.

Sejalan dengan itu Wali Kota Padang Mahyeldi menyampaikan akulturasi budaya Minang dan Tionghoa di Padang sudah terjalin kuat.

Masyarakat Tionghoa dan etnis lainnya sudah menjadi bagian dari warga Padang, kata dia.

Ia memastikan akan memberikan tempat bagi seluruh warga tidak melihat suku dan agama selagi warga Padang akan diberi pelayanan terbaik.

Bahkan Wali Kota juga mempersilahkan masyarakat Tionghoa untuk membangun gapura di kawasan Kota Lama sehingga kian mempercantik kawasan itu.

Mahyeldi menyampaikan kegiatan ini juga mengukuhkan semangat silaturahmi dan persatuan karena untuk membangun bangsa ini setiap elemen harus bersatu.

Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019