Kebinekaan yang tunggal ika itu sangat terasa kendati anak-anak ini tidak lagi mendapatkan mata pelajaran Pancasila dan P4.
Makassar (ANTARA) - Dua hari dua malam perjalanan dari Makassar menuju Jakarta didendangkan dengan lagu Mars serombongan penumpang asal Kaimana, Papua, membuat saya hafal lagu tersebut. Kami pejuang umat, ikhlas untuk berjuang
Demi satu aqidah yang pasti
Menuju jalan Ilahi 2x

Kami ikhlaskan tenaga dan harta
Walaupun letih dan lelah
Tak perduli apapun yang terjadi
maju terus pantang menyerah 2x

Doakan ayah doakan ibu, izinkan kami pergi berjuang
dibawah bendera AFKN
Kerja dakwah hidup mati kami

Allahu Akbar 3x Allah Allahu akbar 2x

Logat Papua dan Maluku sudah akrab di telingaku dari celotehan anak-anak bersama para pendampingnya. Mereka adalah anak-anak Papua yang berasal dari keluarga kurang mampu dari segi ekonomi.

Mulai dari cerita bernuansa islami hingga cerita mob menjadi hiburan bagi penumpang di dek dua, khususnya saya yang sudah tidak lazim lagi mendengar percakapan logat Ambon dan Papua pasca-9 hari baronda di Maluku dan Maluku Utara pekan lalu.

Nuansa kebersamaan, kelucuan, dan kadang-kadang di antara mereka berkelahi sambil bercanda menjadi pemandangan yang menarik bagi saya selama kebersamaan kami di KM Ngapulu.

Dari salah seorang santri yang kami sapa Nona, kami tahu perjalanan panjang mereka untuk menuju sebuah pondok pesantren di Bekasi. Sebagian dari mereka dari pulau kecil di Papua harus naik perahu dengan jarak tempuh yang sehari semalam untuk sampai di Kaimana.

Lalu perjalanan pun dimulai dengan armada laut milik PT Pelni ini, tepatnya sepekan untuk tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tak dapat kubayangkan, menempuh perjalanan laut sepekan dengan suasana dan menu makanan yang itu-itu saja.

Namun itu, bagi mereka lalui dengan senang dan gembira karena menjadi bagian dari sebuah perjuangan untuk menimba ilmu agama di pondok. Konon, keberangkatan mereka ke Ibu Kota NKRI ini karena dukungan dari pemerintah setempat untuk menyekolahkan mereka yang tergolong kaum duafa tersebut.

"Kami akan mondok di pesantren di Bekasi milik pemerintah," jelas Nona.

Ia berdua dengan adiknya dari 9 bersaudara harus rela meninggalkan ibu dan saudara-saudaranya di Papua untuk menuntut ilmu.

Satu di antara anak santri laki-laki dan yang terbilang kecil dan muda bernama Panji. Anak ini sangat cerewet dan ceplas-ceplos yang kerap mengundang kelucuan dari kata-katanya sehingga tawa teman-temannya pecah. Panji sendiri baru masuk SD pada tahun ajaran baru ini.

Ada juga yang paling besar alias gendut di antaranya dan paling pandai membuat cerita mob yang mirip pantun jenaka bernama Amri. Sepertinya tidak kekurangan bahan dan ada saja yang bisa dijadikan cerita mob.

Tak kalah menariknya cerita dari ibu pembimbing yang membuat para santri menyimak mendengar dan akhir cerita semuanya jadi gaduh ger... tawa pun pecah dan saya ikut nimbrung tertawa.

Melamar Anak Gadis

Ceritanya, ada seorang anak yang sejak kecil disuruh mengaji sama orang tuanya. Akan tetapi, karena bandel, hingga dewasa tidak tahu mengaji. Suatu ketika dia melamar anak perempuan seorang imam, sang imam tidak langsung menerima. Ia mengetesnya mengaji dengan ikut lomba tilawahtil Quran tingkat RT.

Walhasil, ketika pemuda itu giliran mengaji, lampu hijau pertanda mulai membaca ayat suci si pemuda itu pun membaca basmalah dengan fasihnya. Namun, kemudian bingung untuk membaca surah apa. Dengan nada yang mirip saritilawah, dia pun menggunakan bahasa setempat kalau dia bingung membaca Alquran. Saat lampu kuning menyala sebagai pertanda sudah akan berakhir bacaannya, masih dengan bacaan model tajwid dia mengatakan, "Saya hanya bisa membelikan kamu sandal plastiqo." Dia lantas mengucap sadaqallahul adziim saat lampu merah menyala.

Sang imam pun tahu jika calon anak mantunya ini tidak bisa membaca Alquran. Namun, karena melihat semangatnya, akhirnya pinangan itu diterima dengan catatan harus belajar mengaji. Tidak ada kata terlambat untuk belajar.

Hikmah dari cerita ini, ungkap guru pembimbing, sejak kecil harus menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu agama dan tidak boleh mencontoh kebandelan si pemuda dalam cerita itu.

Ini hanya sepenggal cerita yang membuat kami di dek yang sama seperti sebuah keluarga besar, tanpa melihat perbedaan warna kulit, suku, dan agama.

Meski kami hanya beberapa hari bersama, kebinekaan yang tunggal ika itu sangat terasa kendati anak-anak ini tidak lagi mendapatkan mata pelajaran Pancasila dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) seperti masa kami bersekolah di SD hingga masuk sebagai mahasiswa baru dengan adanya penataran P4 pola 100 jam.

Setidaknya pada kurikulum sekelompok anak-anak ini masih ada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau diistilahkan PKN, meski mungkin tidak sekental mata pelajaran kami pada masa Orde Baru.

Ya, zaman boleh berubah tetapi rasa persaudaraan dan persatuan dalam merekatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini harus tetap ada. Hanya inilah satu-satunya yang bisa membendung negara ini dari gempuran arus globalisasi dan kencangnya ateisme terselubung ataupun fanatisme berlebihan.

Tak terasa, tinggal mengitung jam kapal yang kami tumpangi akan berlabuh di dermaga Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang zaman Kolonial dikenal dengan nama Pelabuhan Sunda Kelapa.

Kami akan ke tujuan masing-masing. Selanjutnya, melakukan kembali rutinitas. Rasa syukur dan doaku bersama anak-anak dari Kawasan Timur Indonesia (KTI) itu yang akan berjuang menuntut ilmu untuk meneggakan aqidah Islam sesuai dengan marsnya yang perlahan-lahan juga akan berakhir seiring dengan tibanya KM Ngapulu di bibir Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019