Kota Pekanbaru (ANTARA) - Sedia payung sebelum hujan, sebuah pepatah yang mengisyaratkan setiap orang siapapun anak manusia di muka bumi ini harus siap siaga dalam menghadapi "bencana" yang bakal datang, sebagai upaya menyelamatkan kehidupan di bumi ini.

Sebab bumi, hanyalah titipan semata dari Yang Maha Esa, yang harus dijaga, dirawat, dan diselamatkan, demi kehidupan kita, saat ini dan masa datang, untuk anak dan cucu, misalnya dalam menghadapi bencana kekeringan.

Kini, kekeringan sudah mulai melanda tanah air dan Provinsi Riau, tentunya berbagai daya upaya harus dilakukan, agar ancaman kekeringan itu tidak kembali mendatangkan bencana yang lebih parah lagi, akibat kebakaran hutan dan lahan misalnya di Riau. Cukup sudah bencana 18 tahun lalu terjadi, ketika semua kehidupan terdampak akibat Karhutla itu.

"Puncak musim kemarau di daerah ini diperkirakan terjadi pada Juli dan Agustus 2019. Pada Juli di wilayah Riau umumnya sudah mengalami musim kemarau, dan awal musim kemarau dimulai pada Juni, diperkirakan curah hujan terendah di bandingkan bulan-bulan lainnya," kata Kepala Stasiun Meteorologi Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II Pekanbaru, Provinsi Riau Sukisno SP.

Menurut Sukisno, berdasarkan pengertian awal musim kemarau (BMKG) adalah apabila curah hujan yang terjadi dalam satu dasarian kurang dari 50 mm dan diikuti beberapa dasarian, atau curah hujan dalam 1 bulan kurang dari 150 mm.

Dasarian, katanya menyebutkan, adalah jumlah hujan dalam rentang waktu 10 hari, sedangkan intensitas El Nino saat ini dalam kategori lemah.

"Intensitas El Nino yaitu El Nino lemah, El Nino moderat dan El Nino kuat. Dampak El nino tergantung intensitasnya," katanya.

Ia menjelaskan, untuk El Nino kuat dampaknya adalah penurunan curah hujan yang signifikan, bila terjadi di musim kemarau maka kemarau panjang dan kekeringan seperti pernah terjadi tahun 2015.

Sedangkan pada El Nino lemah pengaruhnya pada penurunan curah hujan namun relatif lebih sedikit penurunannya bila dibandingkan dengan waktu El Nino kuat, dampak El Nino ditiap daerah berbeda-beda.

"Oleh karena itu, pemerintah melalui BPBD juga mengajak masyarakat agar dapat memanfaatkan air secara efisien dan tidak membuka lahan dengan membakar, karena bila tidak bisa dikendalikan akan berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan," katanya.

Sementara itu musim kemarau, katanya lagi, diprediksi bisa berlangsung hingga September 2019. .

Antisipasi

Kepala Bidang Perkebunan dari Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau, Vera Virgianti mengatakan, dalam upaya mengatasi dampak kekeringan pihaknya terus mengingatkan para kepala dinas perkebunan kabupaten dan kota di Riau untuk meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap risiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Peringatan untuk waspada dan kehati-hatian, katanya menyebutkan, juga di sampaikan ke perusahaan yang bergerak di industri perkebunan, agar tidak membakar lahan dalam kegiatan perluasan areal tanam," katanya.

"Kita juga senantiasa meningkatkan pembinaan, kewaspadaan, kesiapsiagaan dengan masyarakat binaan yang berada di daerah rawan kebakaran hutan khususnya Kelompok Tani Peduli Api, agar lebih berhati-hati," katanya.

Adrynelson, widyaswara Dinas TBHBun Riau menyebutkan, berkaitan dengan antisipasi gagal panen dilakukan dengan cara menginformasi prediksi cuaca ke depan sebagaimana informasi yang diperoleh dari BMKG kepada Dinas Pertanian di kabupaten dan kota se-Riau.

Selain itu, katanya, pihaknya juga menginstruksikan  kepada Petugas Penyuluh Lapangan melalui dinas pertanian kabupaten dan kota untuk memberikan pembekalan kepada petani tentang informasi iklim dan cuaca, menyiapkan brigade perlindungan tanaman pangan untuk membantu mengatasi dampak kekeringan serta melakukan koordinasi dengan dinas atau badan terkait dalam mencegah terjadinya kebakaran lahan dan kebun.

"Tak terkecuali, Disbun Riau juga memberikan bantuan kepada kelompok tani seperti pompanisasi, pipanisasi, perbaikan jaringan irigasi, serta membangun sejumlah embung sebagai tempat penampungan air yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemarau," katanya.

Sementara itu berdasarkan informasi BMKG Stasiun Klimatologi Tambang, Provini Riau, Desa Kuapan, Kecamatan Tambang, Kabaupten Kampar, Provinsi Riau, menyatakan analisa tingkat kekeringan dan kebasahan dengan menggunakan indesk SPI, terjadi pada periode April-Juni 2019 untuk akumulasi curah hujan tiga bulanan (April 2019-Juni 2019) di wilayah Provinsi Riau secara umum masuk dalam kategori normal.

Namun beberapa lokasi di Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupten Inderagiri Hulu tercatat masuk dalam kondisi agak kering. Selain itu sebagian Kabupaten Rokan Hilir, sebagian kecil di Kota Dumai, sebagiann kecil di Kabupaten Kampar dan Kabupoten Inderagiri Hilir mengalami kondisi agak basah.

Berikutnya, masih berdasarkan pemetaan BMKG, anomali SST Indonesia periode Juni- Juli 2019 diprediksi di perairan Samudera Hindia Barat Sumatera masih cukup hangat yang berpotensi menambah uap air dan awan hujan di wilayah Indonesia.

Kondisi yang sebaliknya terjadi pada bulan Agustus hingga November 2019, diperkirakan nilai suhu muka laut di Samudera Hindia Barat Sumatera bernilai negatif hal ini membuat ketersediaan uap air untuk pembentukan awan hujan terbatas. Pada bulan Agustus 2019 suhu muka Laut Cina Selatan, dan Selat Malaka cenderung mendingin sehingga peluang aktifitas pembentukan awan hujan sedikit terganggu sehingga musim kemarau akan semakin
panjang di Riau.

Skala global nilai suhu muka laut di wilayah Nino 3.4. diprediksi akan tetap menghangat hingga bulan November 2019. Diprakirakan curah hujan di wilayah Riau pada Agustus masih cukup berkurang masih masuk musim kemarau dan terjadi cukup panjang diprakirakan hingga September 2019.

Sumur resapan berkurang

Konsultan Lingkungan dari Pusat Diklat Nasional, Dr. Ir. (Cand) Komala Sari MSi, mengatakan, penyebab terjadinya kekeringan di suatu daerah itu lebih karena terganggunya keseimbangan ekologis sebagai dampak peningkatan pembangunan cenderung hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan.

"Contohnya SPBU di Jl. Arifin Ahmad Kota Pekanbaru itu, dibangun pada daerah resapan, namun karena lebih mementingkan ekonomi akhirnya kolam resapan itu ditimbun dan disemenisasi dan dengan menutup daerah resapan, tentunya akan membuat cadangan air tidak masuk," kata Komala.

Konsekuensinya, menurut Komala, sangat berpengaruh terhadap lingkungan, dan ketika musim kemarau datang tidak ada cadangan air yang dapat dimanfaatkan, sementara saat curah hujan tinggi tentu bisa menimbulkan banjir.

Laju air permukaan yang tinggi, kata Komala, mengakibatkan air tergenang di aspal dan menghambat lalu lintas. Belum lagi kondisi drainase yang ada di Jalan Sudirman itu secara dimensinya tidak memenuhi standar.

"Saat intensitas hujan tinggi drainase cepat penuh dan melimpah ke jalan, kondisi ini juga di dukung oleh tidak adanya daerah resapan di area MTQ," katanya.

Oleh karena itu dipastikan memang berkurangnya daerah tangkapan hujan (cathment area) akibat alih fungsi lahan merupakan satu diantara penyebab kekeringan dan banjir dan semestinya Pemerintah Kota Pekanbaru, khususnya sudah tidak lagi menerapkan drainase secara konvensional, melainkan penerapan eco-drain seperti yang sudah diterapkan oleh negara-negara maju.

Dengan penerapan eco-drain di kota pekanbaru, katanya, maka keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial akan terjadi. Tidak ada lagi masyarakat secara ekonomi di rugikan akibat kekeringan maupun banjir.

"Contoh penerapan ecodrain, di setiap perumahan dibangun sumur resapan, padahal Perda Kota Pekanbaru tentang sumur resapan ini sudah ada, tetapi penerapannya belum ada," katanya.

Solusi lainnya dalam mengatasi dampak kekeringan di Kota Pekanbaru, antara lain daerah-daerah resapan yang sudah disemenisasi itu segera dicarikan alternatif kolam penampungannya (retention pond). Memang kini, sudah di bangun embung (kolam) di kawasan AKAP, akan tetapi perlu dipertanyakan bagaimana tindak lanjutnya, apakah Pemkot Pekanbaru hanya membiarkan seperti itu atau dikelola dengan baik, agar juga bisa dimanfaatkan menjadi daerah ekowisata.

Ia menekankan, bahwa dengan penerapan eco-drain di Kota Pekanbaru, maka keseimbangan kologi, ekonomi dan sosial akan terjadi. Tidak ada lagi masyarakat secara ekonomi di rugikan akibat kekeringan maupun banjir itu.

"Ecodrain merupakan upaya mengalirkan air secara terpadu dengan menggunakan faktor ekologi dalam setiap upaya pengelolaan drainase," katanya. 

Baca juga: Asap kiriman selimuti Riau

Baca juga: BMKG deteksi enam titik panas di Riau
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019