Jakarta (ANTARA) - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI baru saja mengesahkan sembilan nama anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2019 sampai dengan 2022 guna melanjutkan dan memberi ‘arwah’ baru pada dunia penyiaraan Indonesia.

Seperti pemilihan komisioner lainnya, sebanyak 34 calon komisioner harus melewati serangkaian tanapan yang dilakukan panitia seleksi (pansel) sejak akhir 2018 sebelum berhadapan dengan Komisi I DPR RI sebagai tahap akhir seleksi.

Dalam keputusan rapat kerja antara Komisi I DPR RI dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) tanggal 4 September 2018, kata Wakil Ketua Komis I Satya Yudha, menugasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk melakukan perekrutan calon anggota KPI Pusat serta melaporkan proses tersebut kepada Komisi I DPR RI.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 10 Ayat (1), kata Satya Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8-7-2019), sudah dijelaskan bagaimana calon anggota KPI Pusat harus memenuhi kriteria. Selanjutnya, pada Ayat (2) dijelaskan mereka dipilih oleh DPR RI. Untuk itu, hasil keputusan raker, pihaknya meminta Kominfo untuk menyiapkan nama-nama yang pantas untuk kami seleksi.

Tiga kriteria, yakni integritas, kompetensi, dan wawasan, yang diujikan kepada calon anggota KPI pada uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Ruang Sidang Komisi I DPR RI.

Kriteria tersebut sengaja didalami agar KPI sebagai pengawas konten siaran, terutama televisi dan radio, tidak menjadi perpanjangan tangan pemilik dan pengelola media.

Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin, berharap calon anggota KPI yang nantinya terpilih akan lebih baik dari anggota KPI periode sebelumnya.

Proses uji yang rata-rata memakan waktu 2,5 jam itu dibagi menjadi 3 hari. Pada hari Senin (8/7) tiga sesi untuk 15 calon anggota, Selasa (9/7) tiga sesi untuk 15 calon, dan terakhir Rabu(10/07) satu sesi terakhir untuk empat calon anggota.

Baca juga: DPR lakukan uji kelayakan terhadap 34 calon anggota KPI

Polemik

Tepat pada hari pertama uji kepatutan dan kelayakan, Ombudsman mendatangi Komisi I untuk mengadukan temun adanya pelanggaran administrasi atau malaadministrasi yang telah dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia.

Berdasarkan hasil investigasi, malaadministrasi tersebut terdiri atas hilangnya nama calon anggota KPI dalam daftar yang telah diperbaharui, munculnya daftar calon anggota KPI yang berjumlah 27 dan 34 orang ke publik, termasuk bocornya daftar nama peserta yang lolos seleksi, hingga parameter pansel yang tidak jelas dalam meloloskan atau menggugurkan calon.

“Sebetulnya, kalau berita acara 27 nama ini tidak keluar, tidak bocor, itu tidak dipermasalahkan. Akan tetapi, karena itu bocor, lalu jadi masalah," kata anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Satya Widya Yudha menyampaikan keheranan terhadap keputusan Ombudsman mempermasalahkan dugaan kebocoran tersebut.

“Sedemikian critical bahwa kebocoran atau diduga kebocoran melalui nama-nama yang beredar di grup WA,” kata Satya Yudha usai melakukan uji kelayakan calon anggota KPI sesi I di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa.

Satya mengaku terkejut Ombudsman mempermasalahkan hal tersebut tanpa ada bukti nyata, seperti surat edaran. Ia menilai informasi yang beredar di grup WA tidak layak dijadikan patokan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Meski begitu, Setya menyampaikan bahwa kebocoran nama tersebut tidak pernah terjadi dari pihaknya sehingga Ombudsman pun memaklumi dan tidak melanjutkan permasalahan tersebut.

Menurut pengamat dan pakar komunikasi politik Lely Arrianie, kebocoran nama tersebut sebenarnya hal yang wajar. Akan tetapi, bergantung pada orang yang menyikapinya. Ada yang membesar-besarkan perihal kebocoran tersebut, ada yang bahkan tidak peduli.

Namun, kata dia lagi, langkah Ombudsman dinilai wajar mengingat transparansi harus ditegakkan. Selain itu, nama-nama tersebut justru menjadi ajang pembuktiaan bagi Komisi I DPR RI guna menilai seberapa pantas calon yang dikabarkan lolos uji kepatutan dan kelayakan.

“Sekarang diributkan wajar karena sekarang era keterbukaan. Jadi, siapa pun yang diharapkan lolos tidak bisa (Komisi I) asal meloloskan. Justru itu agar bekerja maksimal untuk menentukan siapa yang akan diloloskan dengan melihat hasil fit and proper test,” kata Lely kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Menanggapi laporan Ombudsman dan isu yang beredar bahwa tujuh petahana yang lolos tersebut, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandre Darwis menampiknya.

Ia beserta enam komisioner lainnya, yakni Agung Suprio, Dewi Setyarini, Hardly Stefano, Mayong Suryo Laksono, Nuning Rodiyah, dan Ubaidillah, mengikuti semua proses yang ditetapkan.

“Saya pikir semuanya sudah berjalan dengan proses, ya, dan saya terpanggil untuk masuk ini 'kan ada berapa hal yang harus diselesaikan dalam hal pertama legacy,” ujar Yuliandre usai mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu.

Baca juga: DPR kritisi kinerja Pansel Komisioner KPI

Tantangan ke Depan

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis yang dinyatakan Komisi I sebagai satu dari sembilan nama yang lolos sebagai anggota KPI periode selanjutnya berpendapat bahwa salah satu tantangan terbesar KPI menjangkau media sosial.

“Tugas terbesar sekarang era digitalisasi, konvergensi, dan konten makin banyak bertumbuh tetapi tidak ada guidance bagaimana konten yang cocok dengan style negara kita,” tambahnya.

Menurut Yuliandre, UU Penyiaran yang sudah ada sejak 17 tahun lalu (2002) kurang relevan dengan era digitilasasi dan keberagaman platform media.

Oleh karena itu, dia bersama komisioner pada periodenya sudah mencanangkan untuk melebarkan sayap ke ranah baru selain 16 televisi berjaringan dan 25 radio berjaringan nasional yang sudah dikuasai.

Akan tetapi, hal tersebut belum bisa dilakukan pada masa jabatannya karena terhalang undang-undang. Menurut dia, teknologi terus berubah sejak UU Penyiaran dibentuk sehingga untuk menyentuh ranah baru KPI membutuhkan payung hukum yang kuat.

Yuliandre memberi kode agar DPR segera menyelesaikan revisi UU Penyiaran yang hingga kini tak kunjung selesai

Melalui revisi UU penyiaran, definisi platform teknologi dihapuskan dan berpatokan pada penggunaan kata broadcasting (penyiaran) agar tata kelola penyiaran Indonesia makin membaik.

Kendala tersebut sebenarnya sudah dipahami Komisi I DPR. Wakil Ketua Komisi I Satya Yudha memahami jangkauan KPI masih sebatas media konvensional, sedangkan informasi terkhusus hoaks berkeliaran dengan bebasnya.

"Tantangannya sangat besar bagi KPI Pusat sendiri ke depan. Mereka saat ini belum menjamah ke seluruh media, kita tahu dunia digital luas sekali sekarang. Harus ada inovasi," Satya Yudha.

Satya sangat mendukung KPI untuk bisa segera menyentuh lembaga media sosial.

“Sementara kita di KPI ini yang kita suruh dia ngawasi ini dia tidak mampu untuk melakukan penetrasi hingga sampai media sosial,” ungkapnya lebih lanjut.

Ia menekankan, “Justru ini menjadi tantangan daripada fungsi KPI ke depan. Karena justru masyarakat dicekoki itu semuanya melalui mekanisme media sosial yang justru di luar teleskop KPI.

Salah satu cara agar KPI bisa melebarkan sayap ke media sosial dengan cara mempertegas payung hukumnya melalui revisi UU Penyiaran. Namun, menurut dia, revisi UU tidak semudah itu karena tahapan yang dilalui tak sedikit.

“Beda kalau misalnya masuk dalam putusan menteri itu 'kan bisa dievaluasi setiap saat, ini 'kan tidak,” pungkasnya.

Selain menunggu revisi UU penyiaran, pakar komunikasi politik Lely Arrianie berpendapat KPI bisa menggunakan regulasi untuk bisa menyentuh media sosial.

KPI harus berinisiatif untuk membuat regulasi yang berkaitan dengan bagaimana kerja KPI bisa menjangkau media sosial. Namun, lanjut Lely, regulasi tersebut tidak boleh melanggar UU yang ada di atasnya, seperti UUD NRI Tahun 1945 dan UU ITE.

Menurut dia, regulasi tersebut ampuh untuk menyiasati tantang yang harus KPI hadapi dan sudah dibuktikan oleh lembaga lain seperti Polri.

Ia mencontohkan regulasi Polri yang tetap membolehkan masyarakat mengemukakan pendapat di muka umum dalam bentum demo namun membatasi waktu demo hingga pukul 18.00 dan tidak menyasar badan vital negara.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019