Oleh M. Hari Atmoko 

Suara geluduk sekali namun terdengar menggelegar cukup panjang disusul turun hujan deras ketika penyair tua dari Madura, D. Zawawi Imron, meluncurkan ucapan salam kepada para santri Pondok Pesantren Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 

"'Assalam'mualaikum warahmatullahi wabarakatuh'," katanya ketika membuka wisata sastra di pondok pesantren (ponpes) itu yang diikuti puluhan penyair berasal dari 11 negara dalam rangkaian pembacaan puisi oleh penyair dunia bertajuk "Forum Penyair Internasional-Indonesia (FPII) 2012".

Terdengar balasan salam dari para santri yang berseragam baju putih dengan santri perempuan berkerudung putih dan laki-laki berpeci secara serempak.

"'Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh'," demikian jawaban serentak para santri di bawah asuhan KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) itu.

Penyair berusia 66 tahun yang didaulat membuka pertemuan penyair dunia dengan para santri itu kemudian mengajak mereka semua untuk mengawali acara itu dengan tersenyum.

"Karena senyum pagi hari akan membawa senyum sepanjang hari," kata Zawawi.

"Amin," demikian jawaban serempak kembali menyeruak dari para santri.

Ia pun pada kesempatan itu membacakan puisinya yang terkenal sejak 1980 berjudul "Dzikir".

"Saat ini puisi dari penyair dunia hinggap di Ponpes Tegalrejo yang terkenal ini, sekarang tidak ada hebat-hebatan tetapi yang terjadi ditakdir Allah," kata Zawawi yang pada masa lalu menjadi santri di ponpes setempat.

Seorang guru SMK di kompleks ponpes setempat Bachrul Ulum juga membacakan puisi berjudul "Antara Barat dan Timur", sedangkan penyair yang sekarang tinggal di Jerman, Sujata Bhatt, membacakan puisi berbahasa India, tempat kelahirannya berjudul "Udaylee".

Penyair lainnya yang berkesempatan membacakan puisi pada kesempatan itu antara lain Fikar W. Eda (Jakarta), Chourtney Sina Meredith (Selandia Baru), Samargantang (Bali).

Sebanyak 17 penyair mancanegara dan 10 lainnya beberapa kota di Indonesia membacakan puisi dalam FPII 2012 dengan lokasi utama pembacaan di Taman Lumbini, kaki Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng. Kegiatan itu rangkaian FPII 2012 di empat kota yakni Candi Borobudur, Kabupaten Magelang (1-3 April), Pekalongan (4-6 April), Malang (7-9 April), dan Surabaya (10-12 April) dengan seluruh penyair berjumlah 42 orang.

Gus Yusuf mengemukakan, para santrinya mendapat kesempatan menimba ilmu yang luar biasa melalui silaturahim dengan para penyair dunia itu.

"Prinsipnya kita ambil ilmu yang kita temui untuk pengayaan, bekal bergaul dan bermasyarakat. Harus bisa belajar dari siapapun," katanya.

Ia menyebut bahasa seni sebagai luas, tidak ada batas negara dan agama karena yang ada adalah keindahan, sedangkan semua hal terikat lewat seni.

"Betapa efektifnya seni untuk media dakwah," kata Gus Yusuf yang memimpin ponpes dengan sekitar lima ribu santri dan santriwati itu. Ponpes Tegalrejo didirikan pada 1944 oleh KH Chudlori.

Pada masa mendatang diharapkannya lahir para penyair besar dari kalangan ponpes seperti halnya KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Rembang dan Kiai Zawawi (Madura).

Sebelum melawat ke Ponpes Tegalrejo, para penyair dunia itu juga bertemu dengan para siswa Seminari Menengah Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jateng.

Saat pembuka pertemuan di aula seminari itu, mereka antara lain mendapat suguhan puisi dari sejumlah seminaris antara lain Yoyok Hadianto melalui puisi berbahasa Jawa berjudul "Janma", Yonas Bastian dengan puisi berbahasa Indonesia berjudul "Pekik Itik", dan Bagus Anggoro puisi berbahasa Inggris berjudul "Who am I".

Pembacaan puisi mereka masing-masing diiringi gending gamelan, petikan gitar, dan piano oleh para seminaris lainnya.

"'Dak apa janma tumitah, dadio lebu kang nylimuti woring bawana, utawa mergo Sang Hyang Widi abetah papan kanggo ngadeg. Dolanan bethara kala kang sedya lemah thukul suket. Ambleg wengi wening saiki,'" demikian sepenggal bait puisi berbahasa Jawa "Janma" yang dibaca oleh Yoyok dengan mengenakan pakaian Jawa motif lurik.

Ia menerjemahkan puisinya bahwa manusia lemah dan sebagai debu tidak berguna, seolah rumput yang tumbuh tapi indah.

Manusia, kata Yoyok yang siswa kelas II seminari setempat itu, ingin menggapai Tuhan meskipun mustahil karena kelemahannya. Namun, manusia boleh berharap untuk terus bertemu Tuhan.

Pembacaan puisinya di hadapan para penyair dunia tersebut sebagai kebanggaan pribadi. Ia memanfaatkan momentum tersebut untuk berbagi karya sastra kepada mereka.

Selain itu, ia bersama para seminaris lainnya yang berjumlah sekitar 250 orang itu mengakui mendapatkan tambahan informasi yang penting dan beragam terutama menyangkut karya sastra.

"Puisi bagi saya seperti 'curhat' (curahan hati) dengan Tuhan. Saya mendapatkan informasi bahwa cara pandang mereka tentang puisi berbeda-beda antara lain puisi masuk ke tubuh tetapi puisi lintas dunia," katanya.

Penyair Jerman

Penyair berasal dari Jerman, Michael Augustin, pada kesempatan itu bercerita tentang kegemaran berpuisi antara lain menyangkut pembacaan yang menekankan nada suara. 

"Tidak lihat wajah tetapi nada suara, tekanan dengan gerak mulut, karena itu bisa memberi pengalaman mendengarkan suara tanpa melihat mimik," katanya.

Pada kesempatan itu penyair Toeti Heraty menuturkan tentang karyanya "Joging di Jakarta" berupa ungkapan hati menyangkut sejumlah sudut kehidupan sehari-hari secara mendalam atas masyarakat di Ibu Kota Indonesia itu.

"Waktu dulu saya sempat joging di Jakarta. Saya perhatikan jalan-jalan pakai nama pahlawan. Indonesia kalau kehabisan pahlawan bagaimana," kata Heraty yang kelahiran Bandung 27 November 1933 dan ahli filsafat Universitas Indonesia itu.

Seorang kurator FPII 2012 Afrizal Malna mengatakan, penyair cenderung meninggalkan kamus. Mereka menulis puisi dengan pergi meninggalkan bahasa dan nama.

Penyair kembali kepada tubuhnya sendiri dan mulai mendengar apa kata-kata yang dikeluarkan oleh tubuh untuk dirinya, katanya. (U.M029)

Pewarta:

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012