Jambi (ANTARA Jambi) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan di Jambi mendesak pemerintah setempat segera memberlakukan moratorium tambang.

"Ada ratusan izin tambang di Jambi, ironisnya keberadaan tambang berada di dalam kawasan hutan. Prosesnya tidak jelas, dampaknya sangat banyak, terlebih lagi terkait masalah lingkungan yang rusak," ujar Ketua Perkumpulan Hijau Jambi Feri Irawan di Jambi, Kamis.

Perkumpulan Hijau Jambi bersama elemen pemerhati lingkungan lainnya tergabung dalam Pemuda Bersatu Bergerak menyebutkan, sejak diterapkannya sistem otonomi daerah dari 386 izin udaha pertambangan (IUP) di Jambi, 223 di antaranya justru berada di dalam kawasan hutan.

"Anehnya, dari seluruh perusahaan tambang yang berada di kawasan hutan itu hanya 21 perusahaan yang baru memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)," jelas Koordinator Pemuda Bersatu Bergerak, Eko Purwanto usai melakukan aksi di Kantor Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jambi.

Menurut dia, berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), izin usaha pertambangan yang diberikan kepada perusahaan tambang batu bara, emas, minyak dan gas di Jambi, justru telah mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp73,2 miliar.

Perusahaan tambang di Jambi yang mendapat IUP itu sebagian besar merupakan perusahaan asing. Akibatnya, 90 persen keuntungan justru dinikmati pihak asing dan hanya sekitar 10 persen saja yang terserap ke daerah.

Eko juga menyebutkan, hampir sebagian besar perusahaan tambang di Jambi melakukan penyimpangan.

Salah satunya dilakukan oleh perusahaan tambang emas yang justru dimiliki oleh pemerintah, dimana dari IUP yang diberikan di kawasan hutan produksi Lubuk Pekak, seluas 4.983,21 hektare, melalui Surat Keputusan Bupati Sarolangun Nomor 82 tahun 1999. Perusahaan milik negera ini justru langsung melakukan aktivitas.

"Padahal perusahaan milik negara ini baru mengantongi IPPKH Januari 2013. Hal serupa juga banyak dilakukan perusahaan tambang lain yang izinnya diberikan kepada PT NTC, PT Jambi Prima Cool, PT Minimex, semuanya bermasalah dengan lingkungan, sosial dan kerusakan sistem lainnya," jelasnya.

Eko mengatakan, dari data BPK itu sudah jelas dan memperlihatkan dengan jelas penguasaan tambang semakin timpang akibat adanya kebijakan pemerintah di Jambi dengan menerapkan percepatan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang justru lebih menjurus kepada sistem "tata ruang kolonial".

Peruntukannya sebagai alokasi pertambangan saja mencapai 1,1 juta hektare atau setara dengan peruntukan pertanian bagi tiga juta warga masyarakat Jambi.

Sementara itu, Kepala Bidang Distrik Pemanfaatan Energi Dinas ESDM Provinsi Jambi, Alex Salman mengatakan, tuntutan yang diajukan oleh gabungan LSM di Jambi itu salah alamat, karena yang memberikan izin usaha pertambangan itu bukan pemerintah provinsi melainkan pemerintah kabupaten.

"Yang jelas aspirasi ini akan kami sampaikan kepada kepala dinas. Namun menyangkut izin pertambangan, itu semua ada di setiap kepala daerah," katanya.(Ant)

Pewarta:

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013