Jakarta (ANTARA Jambi) - Kepercayaan publik pada profesionalitas Kepolisian Negara Republiik Indonesia agaknya menjadi salah satu isu sentral yang akan menentukan kualitas kinerja Polri di masa mendatang.

Jika ditelisik ke dalam tubuh institusi yang bertugas memberikan rasa aman pada warga itu, ada satu poin utama yang sudah dirasakan oleh kalangan internal Polri sendiri, yakni perkara moralitas.

Baru-baru ini apa yang dikatakan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Pol) Oegroseno kepada wartawan tentang perlunya membangun watak yang bermoral dalam menjalankan profesi kepolisian menjadi inti proses membangun kepercayaan publik.

Menurut dia, tingkat moralitas yang tinggi harus dimiliki seorang polisi dalam menjalankan tugas pengayoman dan pemberian rasa aman pada warga masyarakat.

Masalahnya, dalam konteks zaman yang serba transaksional materialistik seperti sekarang ini, moralitas menjadi perkara yang rumit tali-temalinya. Seorang polisi maupun seorang yang bekerja di bidang lain, entah itu dosen, karyawan atau buruh pabrik, kurang lebih memiliki tingkat moralitas yang sama.

Artinya, sebagian besar dari mereka adalah manusia-manusia biasa yang rentan terhadap godaan yang berkaitan dengan kadar integritas mereka. Para peneliti masalah kadar moralitas manusia pun sudah memperlihatkan hasil riset mereka bahwa sebagian besar responden yang mereka teliti mempunyai kadar integritas yang rendah, lalu di susul orang yang jumlahnya makin sedikit yang berintegritas menengah dan yang terakhir, yang jumlahnya amat kecil, adalah orang yang berintegritas tinggi.

Untuk itu, konsekwensi dari fakta di atas adalah: jangan coba-coba memberi peluang pada seseorang untuk melakukan pelanggaran moral. Sebagian besar orang akan tergoda melakukan pelanggaran itu sejauh peluang itu terbuka.

Lalu bagaimana solusi untuk mencegah terjadinya penodaan integritas? Tak ada pilihan lain, sistemlah yang harus dibangun untuk membangun moralitas yang mendukung kinerja sebuah lembaga, yang dijalankan oleh manusia yang umumnya berintegritas biasa-biasa saja itu.

Di negara-negara maju pun, sebuah sistem yang terstruktur yang mencegah minimnya pelanggaran moralitas. Seperti apakah sistem itu? Tentu sejumlah faktor akan menentukan sebuah sistem itu akan dijalankan atau tidak. Yang jadi masalah, jika salah satu faktor itu sulit diadakan, misalnya standar gaji tertentu, maka sistem itu juga sulit untuk bekerja secara optimal.

Pernah ada pendapat bahwa penyelundupan narkoba dari Amerika Latin ke Amerika Serikat sulit diberantas sama sekali karena polisi di perbatasan yang bertugas mencegah pelanggaran itu bisa disuap oleh sang penyelundup.

Tentu yang perlu ditekankan dalam kaitannya dengan pembangunan karakter di tubuh Polri adalah soal kesejahteraan yang selalu berkejaran dengan peningkatan harga-harga.  Jalan pintas untuk mengatasi dilemma kesejahteraan inilah yang menjadi titik lemah dalam pembangunan moralitas di tubuh Polri.

Seringkali, dalam banyak kasus, problem kesejahteraan di institusi-institusi negara seperti Polri bukan hanya minimnya standar gaji tapi juga buruknya sistem penggajian yang adil. Tugas-tugas yang dalam pelaksanaannya menyebabkan retannya sistem ketahanan tubuh atas terjadinya penyakit degeratif tak pernah dijadikan pertimbangan untuk memberikan gaji yang adil bagi petugas kepolisian.

Faktor lain yang membuat integritas polisi senantiasa dirundung hasrat tergoda adalah masih adanya apa yang disebut sebagai "tempat basah" dan "tempat kering".  Sistem yang bekerja optimal perlu menghilangkan perbedaan itu sehingga tidak ada lagi apa yang disebut " basah" dan "kering" itu.

Dalam dunia kerja yang kini bisa dilaksanakan secara dalam jaringan, mestinya dikotomi tempat basah dan kering bisa diminimalkan kalau bukan dihapuskan. Tentu hal ini hanya mungkin untuk  pekerjaan yang bersifat administratif.

Hal ini tak akan mungkin bisa dilaksanakan jika pekerjaan itu berlangsung dalam interaksi fisik di lapangan. Tapi kemajukan teknologi bisa dimanfaatkan di sini. Misalnya, untuk menghindari pilihan  transaksi "damai" dalam proses penilangan di jalan, Polri menetapkan bahwa tugas pemilangan itu harus dilakukan di titik-titik tertentu di mana di sana telah dipasang televisi pemantau.

Tentu akan banyak fasilitas televisi  pemantau yang harus dipasang untuk mendukung pembangunan karakter polisi yang bermoral itu.  Pengadaan yang seperti itu harus menjadi prioritas, bukannya perangkat simulator yang malah mendatangkan skandal dalam tubuh Polri itu.

Kepercayaan publik pada Polri, cepat atau lambat, akan menjadi keniscayaan karena keduanya saling bergantung dan berkepentingan satu sama lain. Sepanjang proses demokrasi di negeri ini berjalan secara efektif, simbiose mualisme antara warga dan polisi akan berujung pada optimalisasi kemanfaatan.

Polisi akan terus-menerus dituntut oleh publik untuk berbenah.  Warga tak akan pernah lelah menuntut karena warga tak bisa merasa hidup tenteram dan aman tanpa institusi penjaga keamanan itu beroperasi dengan profesional. Kepemimpinan di tubuh Polri lah yang menentukan apakah harapan atas tuntutan itu terpenuhi dengan akselerasi yang tinggi atau sedang-sedang saja.(Ant)

Pewarta: Mulyo Sunyoto

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013