Yogyakarta (ANTARA Jambi) - Persediaan minyak bumi di Indonesia semakin berkurang karena sumur sumber minyak di Indonesia yang sebelumnya pernah menghasilkan 1 juta barel per hari, saat ini hanya mampu menghasilkan kurang dari 800 ribu barel per hari.

Kondisi itu tidak memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan minyak masyarakat yang rata-rata mencapai 1,3 juta barel per hari.

Setidaknya, itulah persoalan kebutuhan energi di Indonesia yang kerap mengemuka di berbagai kajian diskusi soal energi. Pertanyaannya, kapan upaya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai energi alternatif dapat secara serius direalisasikan guna menutup tingginya kebutuhan energi masyarakat?

Pakar energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Deendarlianto menilai pengembangan EBT masih terkesan setengah hati karena dari sisi pengambil kebijakan maupun masyarakatnya sama-sama belum sepenuhnya siap mengarahkan minat pada pemanfaatan EBT.

Menurut dia, jika harga bahan bakar minyak (BBM) masih lebih rendah dari harga keekonomian, energi baru terbarukan (EBT) masih susah dikembangkan.

"Masih rendahnya harga BBM bersubsidi dari harga keekonomiannya mendorong masyarakat untuk enggan beralih ke energi alternatif yang dinilai membutuhkan proses yang lebih mahal dan tidak mudah," kata dia.

Dengan demikian, pemangkasan subsidi BBM yang telah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo selayaknya dapat menjadi momentum untuk mengarahkan minat masyarakat mamanfaatkan energi non-fosil, setelah berlama-lama terbiasa dengan BBM. "Sebenarnya sekarang adalah momentumnya," kata dia.

Dibanding cadangan minyak bumi, menurut dia, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan cukup melimpah di antaranya mini/micro hydro sebasar 450 Megawatt (MW), tenaga air 75.670 MW, biomass mencapai 50 gigawatt (GW), energi surya 4,80 kWh.

Sementara itu, Rektor UGM Dwikorita Karnawati mengemukakan sejumlah peneliti dari UGM berhasil mengembangkan berbagai produk riset di bidang energi baru dan terbarukan.

Beberapa produk riset yang dihasilkan tersebut di antaranya pengembangnan biomassa dari limbah sawit menjadi BBM, pengolahan limbah dari pasar buah gamping menjadi produk biogas, selain itu peneliti UGM juga berhasil mengembangkan teknologi penyimpanan gas dengan metode "absorpsi gas storage" sehingga bisa mendukung konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) pada kendaraan.

Selain itu, kata Rektor, baru-baru ini pihaknya memanfaatkan potensi mikroalga di daerah pantai Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bahan baku biofuel.

"Kami bekerja sama dengan Daerah Istimewa Yogyakarta bersama dengan penduduk di Pantai Baron untuk mengembangkan mikroalga sebagai biofuel dan nantinya bisa dipasarkan oleh Pertamina," katanya.
    
Fokus kembangkan EBT  

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan ke depan pemerintah akan berfokus pada pengembangan EBT.

Sudirman mengakui bahwa persoalan EBT seolah hanya dijadikan lampiran dalam rencana pengembangan energi nasional. Apa yang disusun Dewan Energi Nasional pun diakuinya tidak terasa.

Kementerian ESDM akan memprioritaskan pembangunan energi baru dan terbarukan dengan mengusulkan dana dalam RAPBN 2016 sebesar Rp10 triliun. Menurut dia APBN 2016 tidak lagi mengacu baik jumlah maupun proporsi dengan anggaran sebelumnya.

"APBN 2016 ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Kami tidak lagi menggunakan APBN lalu sebagai acuan baik jumlah maupun proporsi," kata dia.

Selain itu, Direktur Utama Perseroan Terbatas Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto dalam sebuah seminar di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menegaskan mulai 2015 akan berfokus mengembangkan EBT guna menunjang kebutuhan energi nasional.

Terobosan itu, menurut Dwi, karena ia menyadarai kebutuhan energi masyarakat terus meningkat, sementara kemampuan produksi minyak nasional memang masih belum memadai.

Tanpa pengembangan di sektor EBT, menurut dia, impor minyak mentah akan sulit dibendung sebab untuk mencukupi kebutuhan masyarakat,  setidaknya Pertamina harus memiliki kapasitas produksi sebesar 1,6 juta barrel per hari.

Sebagai upaya serius mengembangkan EBT, menurut Dwi, saat ini Pertamina baru saja menunjuk direktur yang menangani bidang EBT, meskipun hingga saat ini bidang kerjanya masih dominan menangani bisnis gas.

Kendati demikian, ia meyakini dalam waktu dekat fokus pengembangan EBT akan segera mampu terealisasi, apalagi pemerintah sudah memberi dukungan dengan meminta agar Pertamina memanfaatkan biomassa untuk dicampur dalam BBM. "Pemerintah telah menetapkan menggunakan 15 persen biomassa untuk dicampurkan dalam BBM," kata dia.
    
Butuh Investor

Presiden Direktur PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi Ardiansyah mengatakan pemerintah perlu mendorong investor luar negeri menanamkan modalnya dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

"Investor luar negeri sebetulnya tidak perlu lagi berkonsentrasi untuk eksplorasi minyak dan gas karena investor domestik kita sendiri sudah lebih dari cukup," kata Ardiansyah.

Dia mengatakan apabila potensi EBT digarap bersama dengan pemodal asing, Indonesia tidak akan merugi sebab sumber energi tersebut akan selalu mampu diperbaharui.

"Tidak masalah digarap dengan investor asing karena (energi terbarukan) akan terus diperbarui secara berkelanjutan," kata dia.

Dengan mendorong sebagian besar pemodal asing ke arah pengelolaan energi terbarukan, maka eksplorasi potensi energi alternatif di Indonesia akan lebih maksimal.

Ia mengakui hingga kini Indonesia masih belum maksimal dari segi pendanaan serta teknologi untuk menggarap potensi energi terbarukan secara mandiri.

Ia mencontohkan, saat ini PT Pertamina telah berupaya mengembangkan energi panas bumi hingga mencapai 400 megawatt.

Menurut dia, capaian produksi energi itu masih jauh dari potensi energi panas bumi yang ada."Pertamina memang masih kuwalahan jika menggarap sendirian, sebab anggaran kami juga sangat terbatas untuk itu," kata dia.

Sementara itu, kata dia, jika investor asing terus menerus diberikan peluang untuk mengelola minyak dan gas bumi, maka pemanfaatan gas dan minyak untuk alokasi domestik tidak akan mampu maksimal, padahal jumlah cadangannya terbatas. Untuk minyak diperkirakan cadangannya akan mampu mencukupi hingga 23 tahun ke depan, sementara untuk cadangan gas bumi akan habis 55 tahun ke depan.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM Erwan Agus Purwanto mengatakan pemerintah perlu mengarahkan agar masuknya investasi asing terfokus di sektor-sektor produksi berteknologi berat dan tinggi termasuk dalam pengembangan EBT. Sektor produksi dengan teknologi menengah dapat diprioritaskan bagi investor dalam negeri.

"Mestinya yang bisa digarap oleh bangsa sendiri sudah tidak perlu melibatkan asing, seperti eksploitasi batu bara yang tidak memerlukan teknologi yang rumit," kata dia.
    
Perlu Konsistensi

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam salah satu pidatonya berpendapat perlu ada konsistensi dalam pengelolaan EBT. Pemerintah dan Pertamina selama 10 tahun terakhir, menurut dia, belum serius mengawal dan melaksanakan pengembangan EBT.

Dia menyebutkan kebijakan menyediakan 5 juta kiloliter bahan bakar nabati menggantikan BBM yang pernah dicanangkan pada 2010 antara lain dalam bentuk penanaman jutaan pohon jarak sebagai bahan baku biodiesel akhirnya mandeg di tengah jalan, padahal awalnya telah disambut antusias oleh masyrakat dan swasta.

"Mereka terpaksa kecewa karena produknya tidak bisa terjual, dengan alasan biaya produksi jarak kurang ekonomis dibanding harga solar subsidi saat itu," katanya. (Ant)

Pewarta: Luqman Hakim

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015