Surabaya (ANTARA Jambi) - Akhirnya, eksekusi mati untuk delapan terpidana mati dalam kasus narkoba pun terlaksana secara serentak di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (29/4) pukul 00.25 WIB.

Delapan tereksekusi adalah Andrew Chan (Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Rodrigo Gularte (Brazil), dan Martin Anderson alias Belo (Ghana).

Rencananya, ada sembilan terpidana mati yang dieksekusi, namun eksekusi terhadap terpidana mati berasal dari Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, ditunda pelaksanaannya.

"Eksekusi Mary Jane ditunda, karena perekrut perempuan (buruh migran) itu telah menyerahkan diri ke Kepolisian Filipina, sehingga Mary Jane merupakan saksi utama untuk menjerat pelaku sebenarnya dalam kasus yang menyeretnya," kata Jaksa Agung HM Prasetyo.

Kendati terlaksana, eksekusi terpidana mati itu bukan sepi dari kecaman dan reaksi keras masyarakat internasional.

Tidak tanggung-tanggung, berbagai pemimpin dunia pun melontarkan protes keras, seperti Presiden Prancis Francois Hollande, Menlu Australia Julie Bishop, dan bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon pun memrotes.

"Reaksi dunia internasional cenderung menyudutkan Indonesia, pernyataan bernada keras dari berbagai pemimpin dunia, menunjukkan Indonesia perlu mengantisipasi berbagai kecaman dan reaksi keras itu," kata pengamat hubungan internasional dan kandidat doktor pada Australian National University (ANU), Yasmi Adriansyah, kepada koresponden Antara di London (29/4).

Kandidat PhD Hubungan Internasional ANU mengingatkan Indonesia perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan kontra-reaksi agar tidak semakin memperkeruh hubungan bilateral dengan negara sahabat.

"Indonesia jangan hanya melihat kasus ini secara sempit dengan sebatas mengantisipasi perkiraan dampak negatif dari negara asal terpidana. Kemarahan Prancis, misalnya, dapat juga berimbas kepada sikap negatif Uni Eropa (UE) terhadap Indonesia," katanya.

Apalagi, katanya, Belanda yang seorang warganya juga telah dieksekusi sempat menyatakan protes keras dengan menarik Dubes Rob Swartbol. "Baik Prancis maupun Belanda adalah dua anggota UE yang berpengaruh," katanya.

Oleh karena itu, Pemerintahan Jokowi sebaiknya hanya menunjuk Menteri Luar Negeri atau pejabat lain yang ditunjuk dan diberi otoritas untuk berbicara kepada media, karena penyampaian pernyataan sikap tegas Pemerintah RI perlu dibarengi dengan sikap diplomatik yang meredakan ketegangan dan bukan sebaliknya.

"Sejauh ini, pemberitaan media internasional cenderung menyudutkan Indonesia, yaitu lebih menyoroti aspek HAM terpidana yang akan dieksekusi atau bahkan korupnya praktik hukum di Indonesia," katanya.

Namun, informasi mengenai kedaruratan atau kejahatan paling serius (the most serious crimes) yang telah dilakukan para terpidana terhadap Indonesia tidak banyak diangkat media internasional.

"Jadi, Pemerintah Indonesia perlu secara lebih agresif menyampaikan informasi kepada media internasional mengenai dampak narkoba yang sudah sangat membahayakan negeri ini, sehingga mencapai situasi darurat narkoba," katanya.
    
Bukan Eksekusi HAM

Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Tetapi, peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Hingga tahun 2006, tercatat ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, di antaranya KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, serta UU Pengadilan HAM.

Artinya, hukuman mati di Indonesia memiliki dasar hukum yang jelas, namun hal itu tetap saja dianggap melanggar HAM. UUD 1945 menghargai hak hidup, namun peraturan perundang-undangan juga merinci hal-hal khusus.

Nah, kaitan hukuman mati dan HAM itulah sumber polemik yang menyertai eksekusi delapan terpidana mati itu, sehingga Presiden Joko Widodo pun angkat bicara.

Baginya, protes terhadap eksekusi mati itu lebih terkesan membela terpidana mati dan bukan melihat para korban bahaya narkoba.

"Pers harus menjelaskan itu. Setiap hari 50 generasi muda kita mati karena narkoba. Kalau dihitung setahun 18.000 orang. Jangan kamu jelaskan yang dieksekusi, jelasin dong nama 18.000 itu siapa aja, tulis di media. Setiap tahun meninggal siapa, siapa, dan siapa," katanya kepada pers di depan Gedung TVRI, Jakarta (27/4).

Selain itu, presiden juga mengimbau agar orang yang menentang hukuman mati untuk mendatangi tempat rehabilitasi narkoba. Di tempat rehabilitasi, bisa dilihat fakta tentang pemakai narkoba yang tersiksa karena kecanduan.

"Coba pergi ke tempat rehabilitasi dan lihat yang narkoba, yang berguling, meregang, teriak-teriak. Cari informasi tentang itu. Jangan dibandingkan satu pelaku dengan 18.000 orang yang jadi korban," ujarnya.

Pandangan Kepala Negara itu dibenarkan Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Narotama (Unnar) Surabaya, Rusdianto Sesung.

"Para pegiat HAM seringkali melihat hak hidup itu pada pelaku kejahatan, padahal korban kejahatan juga memiliki hak hidup," kata Rusdianto.

Para pegiat HAM, katanya, hanya menafsirkan bahwa hak hidup adalah hak terhadap manusia "jahat" (terpidana) atau yang diduga jahat (tersangka atau terdakwa) yang hendak dieksekusi mati.

Hampir tidak pernah dipikirkan bahwa "korban kejahatan" juga memiliki hak untuk hidup, namun oleh para "penjahat", hak hidup para korban itu telah hilang dan tidak pernah diperhatikan.

Buktinya, pro-kontra penghilangan hak hidup itu baru muncul jika negara akan menghukum mati seseorang. "Hampir tidak pernah diperdebatkan mengenai korban yang ditimbulkan oleh penjahat bersangkutan, sehingga penjahat tersebut juga layak dihilangkan nyawanya," ungkapnya.

Jadi, hukuman mati itu tidak melanggar HAM, bahkan hukuman mati itu juga merupakan bagian dari penegakan HAM, karena HAM juga harus ditegakkan secara adil untuk semua pihak tanpa kecuali. Artinya, eksekusi mati bukan berarti eksekusi HAM. (Ant)

Pewarta: Edy M Ya'kub

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015