Langsa, Aceh (ANTARA Jambi) - Sebanyak 417 pengungsi Rohingya dan Bangladesh yang menghuni kamp penampungan di Birem Bayeum, Aceh Timur, Senin (1/6), mendapat menu makan siang istimewa, gulai kambing khas Aceh.

Menu tersebut "naik kelas" bila dibandingkan dengan hari-hari biasa yang berkisar antara ayam goreng, ikan laut, dan ikan asin yang dikombinasikan dengan sawi, ketimun, kentang rebus, dan daun singkong rebus.

Makan siang dengan menu kesukaan etnis Bengal tersebut adalah sumbangan dari Islamic Welfare Trust, sebuah organisasi kemanusiaan yang bermarkas di Birmingham, Inggris, dan disalurkan melalui organisasi lokal Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Sebanyak tiga ekor kambing pun dipotong, kemudian dimasak oleh para sukarelawan lokal di sebuah dapur umum milik warga, tidak jauh dari posko ACT di Birem Bayeum.

Sekitar pukul 11.00 WIB, gulai kambing pun sudah matang dan dibungkus plastik, siap diantar ke kamp pengungsi untuk disantap bersama-sama.

Hammad Nazir, utusan dari Islamic Welfare Trust yang sengaja datang jauh-jauh dari Inggris, turun langsung mengantar dan membagi-bagikan kotak makanan.

Pria warga negara Inggris keturunan Pakistan bertubuh tinggi besar itu tampak bersemangat dan ikut menuangkan sayur sawi ke piring para pengungsi yang antre dengan teratur.

Sebagai keturunan Pakistan, Hammad tampaknya mengenal betul menu kesukaan para pengungsi Rohingya dan Bangladesh karena pada dasarnya mereka berasal dari akar yang sama. Berdasarkan sejarah, Bangladesh sebelumnya adalah bagian dari Pakistan Timur yang memisahkan diri pada tahun 1971 karena faktor geografis, perbedaan ideologi, dan bahasa.

Bantuan makan siang ditambah beberapa tabung gas tersebut merupakan tahap awal dari rencana organisasi Islam asal Inggris itu untuk menggalang dana dan memberikan bantuan lebih besar bagi pengungsi Rohingya dan Bangladesh di Aceh.

Dalam waktu dekat, Hammad akan segera mengumpulkan sumbangan sebesar 100.000 dolar AS (Rp1,3 miliar) yang berasal dari 48 masjid yang tersebar di seluruh Inggris.

Bersama Hammad, juga bergabung Raja Illa, presiden organisasi nirlaba "Our Touch" dari Kuala Lumpur, Malaysia, yang sehari sebelumnya sudah membagi-bagikan ratusan boneka untuk anak-anak di kamp pengungsi Birem Bayeum dan Kuala Langsa.

Selain boneka dan perangkat salat, "Our Touch" juga menyumbangkan empat mesin pendingin yang sangat dibutuhkan untuk mengawetkan bahan makanan.

Akan tetapi, pada saat-saat akhir pembagian makanan, panitia dibuat pusing tujuh keliling karena sudah tidak ada kotak makanan tersisa, sementara yang antre masih ada sekitar 30-an orang lagi.

"Kami sebenarnya sudah siapkan 500 kotak makanan dan dengan jumlah 417 orang pengungsi, seharusnya masih sisa 83 kotak. Wah... ada yang curang nih," kata Sutaryo, sukarelawan yang sehari-hari bertugas di bagian komunikasi ACT.

Setelah diselidiki, kurangnya jatah makanan ternyata diakibatkan oleh segelintir pengungsi yang nakal dan mengakali petugas, yaitu antre berkali-kali sehingga ada yang mendapat lebih dari dua kotak.

Pengungsi yang jumlah ratusan membuat petugas cukup kewalahan untuk mengawasi satu per satu dan tidak mengherankan bila ada yang luput dari perhatian jika ada di antara yang mengambil makanan lebih dari satu.

"Hei kamu, tadi kan tadi sudah ambil, kok, antre lagi," kata petugas kepada seorang pengungsi, pemuda berusia sekitar 18 tahun yang berada dalam antrean.

Dengan wajah ketakutan, sang pemuda pun lari tunggang langgang ke arah tenda untuk menghindari kejaran petugas yang tampak emosi.

"Saya sudah tandai anak itu, dia memang sering berbuat curang. Kan kasihan teman-temannya yang lain tidak kebagian," kata petugas tersebut.

Gagal menangkap pemuda yang lebih gesit tersebut, wajah tegang sang petugas secara perlahan mulai mereda, kemudian dia ikut tertawa terkekeh-kekeh karena jadi menjadi hiburan tersendiri bagi para sukarelawan lainnya, termasuk Hammad Nazir dan Raja Illa.

Karena yang tidak kebagian jatah makanan adalah pengungsi Rohingya, tudingan pun diarahkan kepada pengungsi Bangladesh yang dianggap lebih culas.

Di kamp penampungan, pengungsi Rohingya dan Bangladesh dipisah, bukan saja karena asal mereka, melainkan karena motif dan latar belakang mereka juga berbeda.

Pengungsi Rohingya yang berasal dari negara bagian Rakhine di Myanmar merupakan pencari suaka karena perlakuan diskriminatif yang mereka alami, sementara pengungsi Bangladesh yang semua laki-laki adalah pencari kerja sehingga pelarian mereka bermotif ekonomi.

Barangkali karena latar belakang tersebut yang menjadikan pengungsi Bangladesh memiliki karakter yang lebih keras cenderung kasar dibanding pengungsi Rohingya yang sebagian terdiri atas wanita dan anak-anak.

Munawar, sukarelawan lainnya, mengatakan bahwa pembagian makanan dalam kotak membuat pengungsi nakal bisa dengan mudah mengambil makanan lebih dari satu, berbeda dengan sebelumnya yang berbentuk prasmanan.

Tidak hanya soal makanan, sukarelawan pun kewalahan untuk mengatur pembagian pakaian, termasuk celana dalam wanita.

"Pernah saya mendapati karung pakaian dalam wanita yang segelnya sudah dirobek dan sebagian isinya hilang. Mungkin beberapa kaum ibu dan wanita sudah tidak sabar karena keperluan yang mendesak," kata Munawar sambil tertawa.

Untuk menghindari kejadian serupa, para sukarelawan pun berusaha untuk mencari cara yang lebih praktis agar pembagian dalam bentuk apa pun bisa tersalur kepada mereka yang berhak, salah satunya dengan membuat kupon makanan. (Ant)

Pewarta: Atman Ahdiat

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2015