Jambi (Antaranews Jambi) - Puluhan perempuan di Jambi yang tergabung dalam komunitas Save Our Sisters mengutuk keras maraknya kasus kekerasan seksual dan bentuk eksploitasi terhadap perempuan yang masih saja terjadi.

Pernyataan itu disampaikan komunitas tersebut dalam aksi unjuk rasa di gedung DPRD Provinsi Jambi dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI), Kamis.

Ketua Umum Save Our Sister Jambi, Zubaidah mengatakan berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jambi, pada tahun 2016 pengaduan tindak kekerasan mencapai 114 kasus. Kemudian di tahun 2017 menurun menjadi 106 kasus.

"Akumulasi kasus kekerasan sepanjang tahun 2016-2018, 80 persen diantaranya adalah kasus terhadap anak terutama anak perempuan. Dimana profil pelaku sebagian berasal dari orang dekat seperti ayah, kakak, sepupu, teman dekat dan tetangga," kata Zubaidah.

Dia juga mengatakan, berdasarkan hasil studi Beranda Perempuan melalui tracking di media massa dan wawancara di Jambi, sekitar lima orang mahasiswa menjadi korban pelecahan seksual yang dilakukan oleh dosen di dua kampus di Jambi.

"Namun pihak kampus melakukan pembiaran terhadap tindakan tersebut demi menyelamatkan nama baik kampus. Tapi kondisi itu tentu menimbulkan impunitas bagi pelaku yang dapat memicu terjadinya keberulangan pada perempuan lainnya," katanya.

Selain itu, Save Our Sisters kata Zubaidah juga menyesalkan praktik tes keperawanan yang terindikasi masih berlangsung di beberapa institusi.

Menurutnya lagi, tes keperawanan merupakan tindakan serangan seksual yang diskriminatif terhadap perempuan dan mengingkari konstitusi pada hak warga negara seperti yang tertuang dalam pasal 281 ayat 2 hak untuk bebas dari diskriminasi, dan pasal 28G hak atas perlindungan diri.

Save Our Sisters juga menyoroti persoalan perempuan di desa yang tengah dikepung olah hadirnya perusahaan tambang di Sarolangun dan  praktek monopoli lahan perusahaan sawit yang diduga menghilangkan beragam tanaman pangan yang biasa dikelola perempuan.

"Inilah yang kemudian menjadi pemicu maraknya perempuan yang bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan sawit tanpa jaminan dan keselamatan selama bekerja," kata Zubaidah.

Selain itu, perempuan adat yang berada di wilayah tenurial hutan, tertutup akses dalam ruang geraknya karena tidak memiliki pengakuan secara politik dan keputusan secara strategis. Sehingga perempuan menjadi pihak yang dirugikan.

Zubaidah menegaskan atas dasar fakta-fakta tersebut, Save Our Sisters dalam aksi unjuk rasa tersebut mengajukan tuntutan. Seperti minta penegakan hukum yang berpihak kepada korban kekerasan seksual dan hapuskan diskriminasi upah bagi perempuan serta cabut izin perusahaan sawit dan tambang.

Kemudian mereka juga minta DPRD mengeluarkan surat edaran tentang larangan praktik tes keperawanan untuk semua institusi ketika melamar kerja dan minta DPRD mengeluarkan surat edaran ke kampus-kampus terkait keamanan bagi perempuan di kampus, serta minta wujudkan kebijakan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam tata kelola tenurial.

Namun sayangnya dalam aksi unjuk rasa itu, mereka tidak berhasil bertatap muka dan melakukan audensi dengan pimpinan maupun angota DPRD Provinsi Jambi, karena dewan sedang dalam kegiatan di luar kota.***

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018