Jambi (Antaranews jambi) - Komunitas Konservasi Indonesia WARSI mengatakan moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit momentum perbaikan ekologi, konflik (tenurial) dan ekonomi masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit.
    
"Kami menyambut baik keluarnya Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas perkebunan sawit," kata Direktur KKI WARSI, Rudi Syaf di Jambi, Jumat.
    
Dijelaskannya, di Jambi pada era awal perkebunan kelapa sawit hampir semua lokasi perkebunan kelapa sawit merupakan kawasan hutan yang dialihfungsikan. Hanya saja saat pelepasan kawasan hutan tidak memperhitungkan suku adat marginal yang tinggal dalam kawasan tersebut sehingga memicu konflik.
    
Dari catatan WARSI kata Rudi saat ini di Provinsi Jambi ada 441 kepala keluarga (KK) Orang Rimba, suku adat yang hidup di bawah perkebunan sawit yaitu PT Sari Aditya Loka, Astra Group di Kabupaten Merangin dan Sarolangun, PT Bahana Karya Semesta (SMART) Kabupaten Sarolangun, PT Kresna Duta Agroindo (SMART) Sarolangun, PT Sawit Harum Makmur, Citra Sawit Harum (Group Harum) di Kabupaten Bungo dan PT Satya Kisma Usaha (SMART) Bungo.
    
"Mereka ada di dalam perkebunan sawit itu, karena memang dari nenek moyang mereka sudah ada dalam kawasan itu, dan persoalan ini masih berlanjut hingga hari ini. Orang Rimba hidup merana dalam perkebunan sawit," kata Rudi.
    
Saat ini kata Rudi, kehidupan mereka yang berada di bawah perkebunan sawit sangat marginal tanpa ada kepastian masa depan dan kepastian kawasan yang bisa mereka kelola untuk jaminan masa depan mereka.
    
Melalui moratorium yang ditandatangani Presiden 19 September 2018 itu, diharapkan akan menjadi instrumen untuk percepatan reforma agraria yang ditujukan untuk komunitas adat marginal.  
    
Rudi mengatakan sebagaimana bunyi instruksi Presiden poin keempat yang ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, untuk melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan hak masyarakat seluas 20 persen dari pelepasan kawasan hutan dan dari HGU perkebunan kelapa sawit.
    
"Kami mengharapkan komunitas adat yang ada dalam kawasan menjadi prioritas utama sebagai kelompok masyarakat yang akan menjadi penerima manfaat sebagaimana yang diinstruksikan Presiden," Kata Rudi menjelaskan.
    
Rudi juga mengatakan moratorium perkebunan kelapa sawit sangat penting untuk pemulihan ekologi dan keadilan pemanfaatan lahan. Dimana ekspansi perkebunan kelapa sawit sudah sangat tinggi dan relatif semua kawasan areal penggunaan lain (APL) yang merupakan kawasan kelola masyarakat tidak bisa lagi dimanfaatkan masyarakat.
    
Hal ini karena sebagian besar lahan APL tersebut kata Rudi telah beralih ke perusahaan kelapa sawit. Kemungkinan awalnya adanya bujukan pola kemitraan ataupun dengan proses jual beli lahan.
    
"Dari penelusuran kami banyak masyarakat yang awalnya tergiur dengan bujuk rayu kemitraan yang ditawarkan, namun dalam pelaksanaannya keuntungan yang dijanjikan pada masyarakat sangat jauh dari yang diharapkan," katanya.
    
Rudi mencontohkan kasus kemitraan yang dialami masyarakat Desa Batu Kerbau Kabupaten Bungo. Dimana lebih dari 6.000 kawasan APL sekitar desa dialihkan untuk perkebunan sawit pada tahun 2008 lalu.
    
Meski dengan berbagai janji keuntungan, namun kenyataannya masyarakat tetap tidak bisa mendapatkan keuntungan seperti yang dijanjikan bahkan yang terjadi adalah bencana  ekologi.
    
"Karena kawasan yang dulunya merupakan kebun agroforest karet diganti dengan tanaman monokultur sawit, akibatnya terjadi bencana ekologi yang mengerikan. Sejak beberapa tahun belakangan ini Desa Batu Kerbau sering dihantam banjir bandang kala musim hujan tiba," katanya menjelaskan.
    
Rudi menyebutkan monokultur secara sangat luas dan masif tidak hanya berbahaya bagi ekosistem namun juga mengundang bahaya untuk ketahanan ekonomi masyarakat petani sawit itu sendiri.
    
"Bisa kita lihat saat ini ketika harga sawit jatuh, pergerakan ekonomi masyarakat juga menjadi lemah," kata Rudi.
    
Bahkan menurutnya, dengan masifnya ekspansi sawit, kawasan gambutpun tidak luput dari kejaran tanaman yang berasal dari Afrika ini. Akibatnya terjadi pemaksaan pembukaan lahan gambut untuk perkebunan dengan mencincang gambut ke dalam kanal-kanal sehingga sangat mudah mengundang kebakaran lahan di musim kemarau.
    
Sebab itu kata Rudi, moratorium perkebunan kelapa sawit harus didukung dan diawasi bersama, sehingga membawa manfaat untuk penyelesaian berbagai persoalan di masyarakat.***

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018