Jambi (Antaranews Jambi) - Antropolog Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Robert Aritonang menyesalkan kembali terulangnya kekerasan yang dialami Orang Rimba yang bermukim di perkebunan masyarakat Desa Jernih, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun yang melibatkan petugas keamaan perusahaan perkebunan Jambi Agro Wiyana (JAW).

"Persoalan ini semakin memperpanjang daftar kekerasan yang dialami Orang Rimba dari perusahaan yang ada di sekitar mereka," kata Robert di Jambi, Senin.

Menurutnya berulangnya kejadian itu karena penyelesaian persoalan Orang Rimba tidak menyentuh ke akar masalah yang dihadapi komunitas adat ini.

Penyelesaian yang diambil berupa penyelesaian pragmatis dengan membayar denda adat, yang saat ini nilainya dikonversikan ke uang, tetapi masalah sesungguhnya yaitu pengakuan hak-hak Orang Rimba dan pengakuan akan harkat dan martabat orang rimba sebagai warga negara sama sekali tidak dipenuhi.

Robert menjelaskan masalah Orang Rimba adalah pengakuan hak dan ruang hidup untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Selama ini Orang Rimba masih mengumpulkan hasil hutan dan berburu dengan kondisi lahan yang semakin sempit maka konflik akan tetap ada.

"Untuk itu sangat penting bagi kita semua untuk mengubah paradigma dan pandangan semua pihak terhadap komunitas adat yang paling lemah ini," katanya.

Sebagaimana yang sudah disuarakan WARSI sejak beberapa tahun lalu penyelesaian yang bisa dilakukan adalah mengakomodir Orang Rimba ke dalam sistem berbangsa dan bernegara.

"Berikan kepada mereka lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka, sehingga mereka bisa berusaha dan hidup di situ tanpa pagi harus mencari makan ke sana ke mari yang akhirnya hanya akan berkonflik," katanya.

Disebutkannya pada 2016 lalu PT Bahana Karya Semesta perusahaan yang juga satu induk dengan JAW juga melakukan kekerasan pada Orang Rimba dengan pelaku satpam yang sama. Pada saat itu setelah melalui denda adat kepada Orang Rimba diberikan sejumlah uang. Dua tahun kemudian kejadian ini kembali terulang.

"Ini menandakan bahwa penghargaan perusahaan kepada Orang Rimba sama sekali tidak ada, sehingga mereka dengan mudah melakukan tindakan semena-mena pada kaum yang sangat lemah," kata Robert.

Untuk itulah negara dan juga perusahaan yang ada di sekitar mereka harus mengubah paradigma dan perlakuan pada kelompok masyarakat ini.

"Jadikan mereka bagian dari warga negara, penuhi haknya dan perusahaan juga harus menyadari bahwa Orang Rimba merupakan warga negara yang juga dilindungi undang-undang sehingga mereka tidak pantas berlaku sewenang-wenang dan kemudian hanya membayarkan denda kemudian dianggap selesai masalahnya," kata Robert menambahkan.

Berdasarkan rilis KKI WARSI, Beconteng (23) Orang Rimba dari anggota kelompok Tumenggung Meladang masih terbaring lemah di pondok beratapkan plastik hitam yang dalam bahasa rimba disebut sesudongon.  

Pemukiman Orang Rimba ini berada di perkebunan karet milik masyarakat Desa Jernih Kecamatan Air Hitam Sarolangun. Memar di wajahnya masih terlihat jelas, gumpalan darah sekitar hidungnya masih menyisakan bekas. Sesekali ia batuk dan dari ludahnya masih tercampur dengan darah.
 
Dengan lirih Beconteng menceritakan kisah pilu yang dialaminya. Luka yang dideritanya katanya merupakan buah kekerasan dan perlakukan kasar dari Satpam Perusahaan Jambi Agro Wiyana yang tak jauh dari sesudungon tempat ia bermukim.  

Kejadian naas itu terjadi pada Sabtu (29/9) kemarin.  Hari itu Beconteng bersama dengan Serah, Mbuda' dan Besilo berboncengan dengan dua sepeda motor pergi berburu dengan  membawa dua senjata rakitan kecepek.

Orang Rimba sudah terbiasa melewati jalan ini, karena wilayah ini merupakan ruang jelajah mereka untuk mencari hewan buruan jauh sebelum kawasan itu berubah menjadi perkebunan sawit.

Ketika melewati pos poros I perkebunan sawit PT JAW,  sekitar pukul 10 pagi, Beconteng ingin buang air kecil. Ia menghentikan laju sepeda motornya dan menyelinap di balik pohon sawit untuk membuang hajat. Tak disangka, ketika sudah selesai kencing datang dua satpam perusahaan. Mereka menuduh Beconteng mengumpulkan berondolan sawit.

Pada saat itu memang ada karung yang berisi buah sawit yang sudah terkumpul dipinggir jalan. Namun bukan Beconteng yang mengumpulkan buah-buah sawit yang sudah terlepas dari tandannya itu.

Meski sudah disebut tidak melakukan seperti yang dituduhkan, tanpa banyak pertanyaan lagi, satpam perusahaan itu langsung merebut kecepek yang terselip dipunggung Beconteng. Beconteng berusaha mempertahankan senjatanya, sehingga terjadi tarik menarik, namun ia terjungkal kala hantaman sepatu satpam mengenai perutnya.

Beconteng terjungkal dan kecepeknya berpindah tangan. Kala posisinya terduduk itulah senjata miliknya itu dihantamkan satpam ke wajah dan kepalanya. Beconteng tidak ingat berapa kali senjata itu mengenai kepalanya, yang jelas dia tidak sadarkan diri pasca kejadian itu.

Kala ribut-ribut itu terjadi tiga temannya ketakutan dan melarikan diri. Mereka tidak dapat berbuat membantu Beconteng yang tengah dihajar oleh Satpam.  

Melihat Beconteng pingsan satpam perusahaan itu juga melarikan diri dengan membawa kecepek Beconteng dan membiarkannya tergeletak begitu saja.

Serah, Mbuda' dan Besilo kembali ke tempat penyiksaan Beconteng setelah tidak lagi mendengar suara ribut-ribut. Mereka mendapati Beconteng yang pingsan dan segera membawanya ke Puskesamas Pematang Kabau Sarolangun.

Setelah mendapatkan obat, Beconteng diantar ke rumah Jenang Jalal untuk meminta perlindugan. Ketika di rumah Jenang ini, datang utusan perusahaan dan kemudian malamnya di bawa ke rumah sakit Sarolangun. Dari pemeriksaan dokter Beconteng diberi obat untuk merawat luka-lukanya.

Bpak Nakan, mertua Beconteng menuntut pihak PT JAW bertanggung jawab atas perlakuan kasar yang diterima menantunya. Dalam adat Orang Rimba setiap perbuatan yang menyebabkan lukanya orang lain disebut dengan denda pampai yang harus di bayarkan untuk mengobati luka sekaligus pemulihan harga diri orang yang sudah dicederai.***

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018