Petani di Kampung Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau, melakukan penanaman tumpang sari, berupa bertanam semangka di lahan kelapa sawit di wilayah tersebut.
"Selama ini kita numpang karena tak ada lahan sendiri, yang punya tanah orang. Ini saling menguntungkan karena bisa sekalian bersihkan rumput meski pupuk semangka ada juga yang termakan sama sawit," kata petani semangka di Kampung Dayun, Iwan Tarigan di Siak, Minggu.
Dia mengaku sudah berfokus sebagai petani semangka sejak lima tahun terakhir. Sebelumnya dia juga menanam palawija seperti cabai, sayur-sayuran, dan terong.
Iwan tidak berkebun sawit karena itu membutuhkan lahan yang luas, lagi pula dirinya tak ada modal untuk itu. Untuk dua hektare lahan saja, jumlah minimal untuk berkebun sawit, modalnya bisa sampai Rp200 juta.
"Itu kan berat, kalau semangka bisa dengan modal kecil-kecilan dan numpang di lahan orang. Untuk beli pupuk bisa juga ngutang," katanya.
Saat ini, lahan yang ditanami semangka ada sekitar enam hektare yang sudah ditumbuhi kelapa sawit.
"Jika dihitung dengan besar lahan yang terpakai untuk semangka, ada sekitar empat hektare dan bisa dipanen sekali dalam 2,5 bulan," tutur Iwan.
Dalam satu hektare lahan, dirinya bisa memanen secara normal adalah sebanyak 18 ton. Sedangkan harga rata-rata saat ini untuk semangka sekitar Rp2.700 per kilogram.
"Untungnya satu banding satu dengan modal," katanya.
Semangka tersebut dijual ke sejumlah tempat seperti Pekanbaru, Kerinci, Palembang, Lampung, bahkan hingga sampai ke Pulau Jawa. Biasanya ada yang menampung semangka tersebut, tergantung kecocokan harga.
Pada 2017, ada alokasi dana desa di Kampung Dayun yang programnya "One Village One Product" atau satu desa satu produk. Dari situlah dipilih semangka sebagai produk desa, dan kemudian dibuat program Sekolah Lapangan Semangka dengan Iwan Tarigan sebagai pembimbing.
Iwan berharap meski bertanam di atas lahan kelapa sawit, petani semangka dan pemilik lahan bisa hidup berdampingan dan saling menguntungkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019
"Selama ini kita numpang karena tak ada lahan sendiri, yang punya tanah orang. Ini saling menguntungkan karena bisa sekalian bersihkan rumput meski pupuk semangka ada juga yang termakan sama sawit," kata petani semangka di Kampung Dayun, Iwan Tarigan di Siak, Minggu.
Dia mengaku sudah berfokus sebagai petani semangka sejak lima tahun terakhir. Sebelumnya dia juga menanam palawija seperti cabai, sayur-sayuran, dan terong.
Iwan tidak berkebun sawit karena itu membutuhkan lahan yang luas, lagi pula dirinya tak ada modal untuk itu. Untuk dua hektare lahan saja, jumlah minimal untuk berkebun sawit, modalnya bisa sampai Rp200 juta.
"Itu kan berat, kalau semangka bisa dengan modal kecil-kecilan dan numpang di lahan orang. Untuk beli pupuk bisa juga ngutang," katanya.
Saat ini, lahan yang ditanami semangka ada sekitar enam hektare yang sudah ditumbuhi kelapa sawit.
"Jika dihitung dengan besar lahan yang terpakai untuk semangka, ada sekitar empat hektare dan bisa dipanen sekali dalam 2,5 bulan," tutur Iwan.
Dalam satu hektare lahan, dirinya bisa memanen secara normal adalah sebanyak 18 ton. Sedangkan harga rata-rata saat ini untuk semangka sekitar Rp2.700 per kilogram.
"Untungnya satu banding satu dengan modal," katanya.
Semangka tersebut dijual ke sejumlah tempat seperti Pekanbaru, Kerinci, Palembang, Lampung, bahkan hingga sampai ke Pulau Jawa. Biasanya ada yang menampung semangka tersebut, tergantung kecocokan harga.
Pada 2017, ada alokasi dana desa di Kampung Dayun yang programnya "One Village One Product" atau satu desa satu produk. Dari situlah dipilih semangka sebagai produk desa, dan kemudian dibuat program Sekolah Lapangan Semangka dengan Iwan Tarigan sebagai pembimbing.
Iwan berharap meski bertanam di atas lahan kelapa sawit, petani semangka dan pemilik lahan bisa hidup berdampingan dan saling menguntungkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019