Harimau Sumatera dari Provinsi Riau, yang diberi nama Inung Rio, ternyata sudah mati saat mendapat perawatan di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di Dharmasraya (PR-HSD), Sumatera Barat pada 15 April 2019.
Pihak Yayasan Arsari Djojohadikusumo selaku pengelola PR-HSD mengungkapkan bahwa Inung mati akibat komplikasi penyakit yang diderita oleh satwa dilindungi itu.
“Harimau Inung Rio mati karena komplikasi berbagai penyakit bawaan sebelum direhabilitasi di PR-HSD,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Catrini Pratihari Kubontubuh ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Rabu.
Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) itu sebelumnya terjerat di kawasan restorasi ekosistem Riau (RER) yang dikelola PT Gemilang Cipta Nusantara (GCN) di Desa Sangar Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau pada Maret 2019. Harimau jantan yang diperkirakan berusia 3 hingga 4 tahun itu terluka parah di kaki depan bagian kirinya akibat jerat sling baja.
Untuk proses penanganan lebih lanjut, harimau yang diberi nama Inung Rio itu dititipkan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau ke PR-HSD, namun umur satwa belang itu hanya bertahan 20 hari karena komplikasi penyakitnya.
Baca juga: Keterlibatan TNI dan Polri sangat berperan tekan karhutla
Baca juga: Danrem 042/Gapu perintahkan prajurit proaktif cegah karhutla
Catrini mengungkapkan tim dokter hewan langsung melakukan bedah bangkai atau nekropsi pada 16 April 2019, sehari setelah kematian Inung. Hasil diagnosa awal juga sudah disampaikan kepada BBKSDA Sumatera Barat pada 18 April 2019.
Dalam surat itu dijelaskan bahwa diagnosa sementara Inung Rio mati akibat pneumonia, gangguan fungsi saraf, kegagalan sirkulasi darah dan distemper yang ditandai dengan adanya pembentukan eksudat dan peradangan hebat pada organ paru. Kemudian juga terhadap pendarahan pada selaput otak, pembendungan pembuluh darah pada otak besar serta kerusakan jaringan hebat pada organ hati, limpa dan jantung.
Ia mengatakan pihaknya juga sudah melakukan pemeriksaan di laboratorium untuk hasil diagnosa tetap yang lebih rinci. Menurut dia, hasil lab keluar pada 12 Juni 2019 dan hasilnya langsung dilaporkan pada 13 Juni 2019 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Surat itu juga ditembuskan ke Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati KLHK, Kepala BBKSDA Riau dan Kepala BBKSDA Sumbar. Namun, ia menyebutkan pihaknya merasa tidak berwenang untuk menyampaikan hasil diagnosa tetap karena KLHK berjanji akan mengeluarkan pernyataan pers tentang hal tersebut.
“Mohon maaf lampiran data kami serahkan langsung ke KLHK agar satu pintu,” ujarnya.
Berdasarkan rekam berita Antara, terakhir kali BBKSDA Riau menyampaikan kondisi Inung Rio pada 12 April 2019. Kepala BBKSDA Riau, Suharyono saat itu menyampaikan proses kesembuhan luka jerat Inung Rio menunjukkan progres yang baik, tampak luka mulai menutup dengan kedalaman luka yang mendangkal. Ia juga mengatakan harimau itu sakit akibat infeksi sistemik yang disebabkan oleh luka terbuka di kaki kiri, dan infeksi organ hepatika atau hati.
Namun, hingga kini Suharyono belum bersedia untuk berkomentar terkait matinya Inung Rio.
Baca juga: Hutan Adat Rantau Kermas Merangin raih penghargaan Kalpataru
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019